Sertifikasi kompetensi merupakan alat bantu untuk menyatakan seseorang berkompeten, tapi perlukah sertifikasi nazhir?
Oleh: Prof. Dr. Nurul Huda, SE, MM
Hidayatullah.com | KOMPETENSI meliputi pengetahuan, keterampilan, dan sikap (Singh, 2010). Kompetensi memungkinkan seseorang atau kelompok untuk melakukan sebuah peran atau seperangkat tugas pada level atau tingkatan kualitas atau prestasi yang sesuai.
Knowledge (pengetahuan) sebagai bagian dari kompetensi SDM, dapat dikelompokkan ke dalam tiga katagori:
- Declarative knowledge, yakni informasi faktual tentang suatu subjek yang disimpan dalam memori seseorang
- Procedural knowledge, yakni pemahaman seseorang tentang bagaimana dan kapan informasi faktual digunakan
- Strategic knowledge, yakni pemahaman seseorang tentang fakta dan prosedur yang digunakan untuk merencanakan, memonitor, dan merevisi arah tujuan kegiatan yang ditetapkan.
Skill (keterampilan) merupakan hasil dari berulangkali menerapkan pengetahuan dan kemampuan. Keterampilan meliputi kognitif, psikomotorik, dan interpersonal.
Sedangkan sikap (attitudes), menurut Blanchard and Thacker (2010), mempengaruhi perilaku. Sikap juga memotivasi seseorang untuk melakukan pekerjaan lebih efektif.
Sertifikasi Kompetensi
Sertifikasi kompetensi merupakan salah satu alat bantu untuk menyatakan seseorang kompeten dan profesional di bidangnya. Proses pemberian sertifikat kompetensi dilakukan secara sistematis dan objektif melalui uji kompetensi. Ini mengacu pada standar kompetensi kerja baik bersifat nasional maupun internasional.
Sistem dan kebijakan sertifikasi kompetensi ditujukan untuk meningkatkan kualitas SDM pada berbagai status. Seperti mereka yang sedang mengikuti dan lulus pendidikan formal dan pendidikan kejuruan, atau mengikuti pendidikan dalam masyarakat yang jumlahnya sangat besar. Mereka umumnya bekerja di sektor informal atau bekerja mandiri. Juga mereka yang sedang bekerja di industri, agar mendapatkan fasilitas kerja layak (decent work). Pun diperlukan oleh mereka yang sedang mencari pekerjaan atau lulusan pelatihan kerja.
Di Indonesia, ada lembaga bernama Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP). Badan independen ini bertanggung jawab kepada Presiden yang memiliki kewenangan sebagai otoritas sertifikasi personil dan bertugas melaksanakan sertifikasi kompetensi profesi bagi tenaga kerja.
Sertifikasi Kompetensi Nazhir
Sertifikasi profesi adalah suatu penetapan yang diberikan oleh suatu organisasi profesional (Lembaga Sertifikasi Profesi/LSP) terhadap seseorang untuk menunjukkan bahwa orang tersebut mampu untuk melakukan suatu pekerjaan atau tugas spesifik.
Sedangkan yang dimaksud nazhir, sebagaimana UU No 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf, adalah pihak yang menerima harta benda wakaf dari wakif untuk dikelola dan dikembangkan sesuai dengan peruntukannya.
Tugas nazhir adalah melakukan pengadministrasian harta benda wakaf; mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf sesuai dengan tujuan, fungsi, dan peruntukannya; mengawasi dan melindungi harta benda wakaf; dan melaporkan pelaksanaan tugas kepada Badan Wakaf Indonesia.
Dalam melaksanakan tugas, nazhir boleh menerima imbalan dari hasil bersih atas pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf yang besarnya tidak melebihi 10%.
Jika dikaitkan dengan karakteristik profesi, maka pekerjaan nazhir merupakan profesi/bidang pekerjaan yang memerlukan kompetensi tertentu. Nah, perlukah ada sertifikasi?
Tentu jawabannya sama dengan profesi lainnya. Dari sisi nazhir itu sendiri, sertifikasi bisa meyakinkan organisasi/Industri/klien bahwa dirinya kompeten. Selain itu, bisa membantu nazhir dalam merencanakan karir dan mengukur tingkat pencapaian kompetensi dalam proses belajar di lembaga formal maupun secara mandiri.
Sertifikasi akan membantu nazhir dalam memenuhi prasyarat regulasi. Juga membantu pengakuan kompetensi lintas sektor dan lintas negara, serta membantu tenaga profesi dalam promosi profesinya di bursa tenaga kerja.
Sedangkan dari sisi kelembagaan, sertifikasi nazhir akan membantu industri meyakinkan kepada wakif bahwa produk/jasanya telah dibuat oleh nazhir yang kompeten. Juga membantu indutri dalam rekrutmen dan mengembangkan nazhir berbasis kompetensi guna meningkatkan efisiensi SDM. Selain itu, membantu indutri dalam sistem pengembangan karir dan renumerasi tenaga berbasis kompetensi dan meningkatkan produktivitas.
Pertanyaannya sekarang, apa Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI) bagi nazhir?
Hal ini dapat diturunkan dari tugas nazhir itu sendiri. Kompetensi yang harus dimiliki nazhir atau dalam SKKNI dikenal dengan istilah fungsi kunci nazhir, antara lain: menerima, menjaga, mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf, menyalurkan manfaat dan hasil pengelolaannya, serta melaporkan pelaksanaan tugas kepada Badan Wakaf Indonesia.
Masing-masing fungsi kunci diuraikan lebih detail kompetensinya dalam fungsi utama dan fungsi dasar. Misalnya untuk kompetensi kunci menerima harta benda wakaf mencakup tiga fungsi utama kompetensi, yaitu: (1) Merencanakan penerimaan harta benda wakaf, (2) Melaksanakan penerimaan harta benda wakaf, dan (3) memantau penerimaan harta benda wakaf. Demikian pula untuk fungsi kunci nazhir lainnya.
Sertifikasi kompetensi bagi nazhir akan meningkatkan profesionalisme pengelolaan wakaf. Dengan demikian, wakif akan semakin percaya untuk menyerahkan harta benda wakaf, baik bergerak maupun tidak bergerak.
Hasil penelitian penulis pada tahun 2017, ada tiga persoalan utama nazhir, yaitu rendahnya kompetensi dalam pengelolaan, bukan sebagai profesi utama, dan pengelolaan wakaf belum optimal.
Sertifikasi kompetensi nazhir insya’ Allah akan menghilangkan tiga persoalan utama di atas. Bahkan penulis melakukan survei pada beberapa nazhir secara random, hampir semua nazhir menyetujui jika ada sertifikasi. Jadi, sertifikasi nazhir menjadi suatu kebutuhan dan keharusan. Wallahu’alam.*
Guru Besar Ekonomi Islam Universitas YARSI, Komisioner Badan Wakaf Indonesia (BWI)