Hidayatullah.com— Laporan terbaru Amerika, yang diajukan oleh komisi yang ditunjuk Presiden Bush dan dipimpin hakim federal berhaluan konservatif Laurence Silberman dan mantan Senator Demokrat Charles Robb, blak-blakan.
"Kami menyimpulkan bahwa Komunitas Intelijen keliru total dalam semua perhitungan pra-perang mengenai senjata pemusnah massal Irak. Ini merupakan kelalaian besar intelijen," kata mereka dalam sepucuk surat kepada Presiden Bush.
Sikap intelijen AS ini terungkap setelah pihak komisi kepresidenan AS Kamis, Jum’at (1/4) memberikan pernyataan sikapnya. Setelah penyelidikan satu tahun, panel tersebut memperingatkan dalam laporannya bahwa keputusan menyerbu Iraq Maret 2003 lewat tuduhan salah, telah merusak kredibilitas Amerika Serikat (AS).
"Kami menyimpulkan bahwa komunitas intelijen salah besar dalam hampir semua penilaian pra-perangnya tentang senjata penghancur massal Iraq," kata komisi itu. Panel tersebut memperingatkan bahwa intelijen AS soal kemampuan dan keinginan Iran dan Korea Utara — yang keduanya terlibat dalam perselisihan nuklir dengan Amerika Serikat — kemungkinan "sangat" goyah. Bab tentang persoalan itu dirahasiakan.
Presiden AS George W. Bush menyambut laporan itu dan mengatakan dia telah mengarahkan seorang penasehat keamanan dalam negerinya untuk meninjau dokumen setebal 600 halaman itu dan mengambil "langkah konkrit" atas rekomendasinya. Dalam pernyataannya di Gedung Putih penasehat keamanan itu mengatakan, "komunitas intelijen Amerika membutuhkan perubahan mendasar untuk memungkinkan kami mampu menghadapi ancaman pada abad ke-21"
Panel itu menyerukan peningkatan kekuasaan direktur intelijen nasional yang baru dibentuk itu sebagai bagian dari pembentukan manajemen yang lebih terpusat dan terpadu. Panel itu menggambarkan komunitas itu sebagai badan independen yang bersifat longgar. John Negroponte, mantan dubes AA untuk Iraq, yang akan menduduki jabatan tersebut, kini sedang menunggu konfirmasinya.
"Untuk memenangkan perang terhadap teror, kami akan membetulkan apa yang perlu diperbaiki," kata Bush, yang didampingi ketua bersama komisi itu, mantan hakim federal Laurence Silberman dan mantan senator Charles Robb. Laporan tersebut memuat serentetan kelemahan gugus tugas pada komunitas intelijen AS, yang dikatakannya, menimbulkan kesimpulan salah bahwa Saddam Hussein memiliki senjata pemusnah massal dan penyerbuan ke Irak merupakan langkah yang dibenarkan.
Laporan itu menyebut analisa yang dikompromikan lewat asumsi tentang keinginan Saddam setelah Perang Teluk 1991; masalah pengumpulan data; dan kegagalan berkomunikasi dengan pembuat kebijakan. Kepada wartawan Silberman mengatakan, operasi oleh komunitas intelijen lewat asumsi-asumsi itu berdasarkan apa yang mereka lihat pada tahun 1991.
"Kurangnya bukti yang tidak konsisten yang mereka peroleh masuk ke dalam praduga tersebut," tambah dia. Komisi dalam laporan itu mengatakan pihaknya tidak menemukan bukti bahwa tekanan politik telah menyesatkan penemuan soal Irak oleh intel AS, namun mempertanyakan apakah pemerintahan Bush membesar-besarkan intelijen untuk menjual perang tersebut.
Panel juga mengatakan kecacatan yang merusakkan analisa tentang Irak "masih terlalu umum" dan memperingatkan bahwa informasi tentang negara-negara seperti Iran dan Korea Utara tidak begitu banyak dimiliki intelijen AS.
Berita buruk yang diperoleh Amerika Serikat adalah intelijennya mempunyai sedikit informasi tentang program senjata musuh-musuhnya, tambah panel itu. "Masyarakat intelijen mengetahui sedikit tentang program nuklir yang dikelola banyak aktor paling berbahaya di dunia. Dalam beberapa kasus, mereka paling tidak mengetahui lima atau 10 tahun yang lalu," kata panel itu.
Jurubicara Gedung Putih Scott McClellan mengatakan tidak ada rencana untuk mengubah kebijakan AS terhadap Teheran atau Pyongyang, dan para pejabat yang lain menolak mengatakan apakah kebijakan AS tentang aksi militer "penyerangan lebih dahulu" akan berubah.
Teheran membantah tuduhan bahwa program nuklir sipilnya menyembunyikan senjata nuklir. Korea Utara menyatakan kebanggannya bahwa pihaknya memiliki senjata nuklir. Komisi itu memperingatkan bahwa komunitas intelijen AS juga "belum mengambil langkah" soal penyebaran senjata penghancur massal.
Berita baik
Komisi tersebut juga memperingatkan bahwa ada keinginan di antara para teroris seperti mereka yang berada di balik serangan 11 September 2001 untuk mendapatkan senjata seperti itu. Komisi kepresiden itu melaporkan berita baik, paling tidak berita utama, sambil memuji usaha inteliejn AS yang "inovatif" berkenaan dengan Libya, yang meninggalkan program senjata nuklirnya, sebagai "berita yang paling sukses."
Menurut Komisi itu, penggunaan teknik penyusupan atas jaringan pejualan global ilmuwan nuklir Pakistan Abdul Qadeer Khan "memberikan izin kepada pemerintah AS menekan Libya membongkar program nuklirnya." Amerika Serikat menyerbu Irak untuk menemukan senjata nuklir, kimia dan biologi yang dimiliki Saddam Hussein, tapi tak ada satu pun senjata seperti itu ditemukan dan pasukan kendali AS akhirnya menghentikan pencarian tersebut. Gedung Putih sejak itu mengubah pemikiran publik dari penyerbuan untuk mencari senjata nuklir ke tindakan opresif rejim Saddam dan apa yang dikatakan Washington adalah untuk menyebarluaskan demokrasi di Timur Tengah. (ant/afp/wpd/bbc)