Rabu, 24 Agustus 2005
Hidayatullah.com–Seorang Pejabat Komisi Penyusun UUD Iraq, Maryam Ar-Rais, mengkonfirmasikan selesainya proses penyusunan draft UUD Iraq. Seperti dilaporkan Radio Merdeka Iraq, Maryam Ar-Rais Senin malam kemarin menyatakan, dalam undang-undang tersebut masalah hak keistimewaan etnis di Iraq telah dihapus.
Pejabat tinggi Iraq itu menambahkan, pembahasan masalah federalisme di Iraq juga telah memasuki tahap baru.
Menurutnya, setiap Provinsi di Iraq berhak untuk membentuk pemerintahan federal atau otonomi.
Lebih lanjut Maryam Ar-Rais menegaskan, dalam UUD itu disebutkan bahwa Islam adalah agama resmi di Iraq dan merupakan referensi tunggal berbagai ketetapan yang berlaku di negara ini.
Selain itu, pemerintah Iraq melarang penetapan segala bentuk UU yang bertentangan dengan ajaran Islam dan pemberlakuan seluruh ketentuan Iraq juga harus sesuai dengan agama Islam.
Di pihak lain, seorang anggota Dewan Nasional Iraq, Ali Adib, dalam wawancaranya dengan Televisi Iraqk menyatakan, UUD Iraq juga menjamin ketenteraman para penganut agama-agama lain.
Lebih lanjut Ali Adib menjelaskan, berdasarkan perundingan antara anggota Dewan Nasional Iraq dan anggota Komisi Penyusun UUD Iraq, warga Iraq pengikut agama selain Islam berhak mengamalkan kepercayaan mereka.
Sunni Ancam
Meskipun rancangan undang-undang dasar sudah dirumuskan di Iraq, pertikaian antaretnis nampaknya akan masih panjang.
Partai Sunni terbesar mengancam akan menggagalkan rancangan itu. Jika konstitusi tidak dirubah.
Sunni berkeinginan negara dengan pemerintahan Iraq yang terpusat. Jika tidak, kelompok itu akan menolaknya sama sekali.
Sementara itu, kelompok Syi’ah menolak secara kategoris perubahan-perubahan. Menurut keterangan Perdana Menteri Ibrahim Djafaari, dua dari 153 artikel rancangan undang-undang dasar dianggap kontroversial.
Dokumen itu baru diserahkan kepada parlemen sepuluh menit sebelum waktu yang ditetapkan berakhir. Untuk mengatasi perbedaan pendapat diberikan waktu tiga hari bagi para juru runding.
Meski konstitusi sudah terbentuk, masalah politik di Iraq belum tentu akan selesai selama 10 tahun. Selain banyak kepentingan antar etnis yang rawan konflik juga kepentingan Amerika yang tak akan membiarkannya begitu saja.(irib/dwwd)