Hidayatullah.com—Friksi soal mekanisme manajemen perang Afghanistan kini menjadi isu keamanan paling hangat di Amerika Serikat (AS). Dalam sebuah pertemuan yang dipimpin langsung oleh Presiden Amerika Barack Obama di ‘ruang darurat’ Gedung Putih Rabu (30/9) kemarin, para penasehat keamanan dan politik luar negeri Obama gagal mencapai kata sepakat soal nasib pasukan AS di Afghanistan.
Dalam sidang itu, selain Obama, hadir juga wakil presiden, menlu, menhan, penasehat keamanan nasional, kepala staf pasukan gabungan, dan panglima pusat militer Amerika. Adapun Panglima Militer AS di Afghanistan, Jenderal Stanley McChrystal, yang juga merangkap sebagai Panglima Pasukan Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) di Afghanistan, turut mengikuti proses sidang via konferensi video.
Ketua NATO di Washington mengatakan, “Perang Afganistan bukan hanya perang Amerika, tapi juga tugas NATO.” Sementara Ketua NATO dalam pertemuan ini ikut menegaskan perang Afganistan bukan beban yang harus ditanggung sendiri oleh Amerika, tapi tanggung jawab satu tim.
Ucapan OBama disampaikan ketika sehari sebelumnya Rasmussen mengumumkan mayoritas negara anggota NATO tidak menyetujui kinerja Amerika yang meninginkan penambahan pasukan ke Afganistan. Saat ini ada friksi yang sangat tajam dalam hubungan Eropa dan Amerika terkait pengelolaan perang Afganistan. Pemerintah Obama sejak beberapa bulan lalu telah merencanakan penambahan pasukannya di Afganistan.
berbeda dengan sikap Amerika, negara-negara Eropa dan Kanada menentang penambahan pasukan di Afganistan. Berlin dan Otawa menyatakan akan tetap menarik pasukannya dari Afganistan sesuai jadual yang telah ditetapkan tahun 2010 dan 2011, sekalipun Washington mendesak mereka mengirimkan pasukannya lebih banyak ke negara ini. Saat ini ada lebih dari 30 ribu tentara NATO yang ditempatkan di Afganistan.
Berbagai sumber pemberitaan menyebutkan, dalam sidang itu terjadi friksi tajam soal penambahan jumlah pasukan AS di Afghanistan. Beberapa waktu lalu, McChrystal dalam laporannya kepada Obama menekankan bahwa tanpa penambahan pasukan, Washington tidak punya peluang sedikitpun untuk menang dalam perang Afghanistan. McChrystal secara tegas meminta pengiriman 30 hingga 40 ribu pasukan tambahan. Permintaan McChrystal itu kini menjadi isu keamanan paling hangat di Washington bahkan telah menciptakan jurang friksi antara lembaga legislatif dan esekutif AS.
Dalam hal ini, Menlu AS, Hillary Clinton, dan Wakil Khusus Urusan Afghanistan dan Pakistan, Richard Holbrooke, mendukung penuh penambahan pasukan AS di Afghanistan. Namun di lain pihak, Kepala Staf Gedung Putih, Rahm Israel Emanuel, dan Penasehat Keamanan Nasional AS, Purnawirawan James Jones menyatakan, segala bentuk penambahan harus ditangguhkan hingga pengumuman hasil akhir pilpres Afghanistan. Usulan ini secara implisit didukung oleh Menhan AS, Robert Gates. Meski demikian, suara kelompok pendukung rencana penambahan pasukan ke Afghanistan masih lebih kuat mengingat Kepala Staf Gabungan Militer AS, Laksamana Michael Mullen, dan Panglima Pusat Militer AS, Jenderal David Petraeus, juga mendukung tuntutan McChrystal.
Di satu sisi, Obama didesak opini publik untuk menepati janjinya dalam memberantas pejuang Taliban di Afghanistan. Namun di sisi lain, Obama juga menghadapi penentangan keras dari sejumlah pejabat kubu Demokrat dan para analis eksekutif serta dari negara-negara sekutunya di NATO.
Sekedar catatan, selama sembilan bulan terakhir, Obama telah meningkatkan jumlah pasukan di Afghanistan hingga dua kali lipat menjadi 68 ribu personil. Jika tuntutan McChrystal itu disepakati, maka dipastikan akan terjadi banjir korban jiwa baik di pihak militer AS maupun di pihak sipil Afghanistan. Satu hal lain yang pasti adalah penghamburan uang pembayaran pajak dalam perang di Afghanistan. Namun poin yang penting diperhatikan adalah bahwa penambahan pasukan ke Afghanistan itu tidak berarti keberhasilan operasi militer AS. Artinya, para pejabat AS termasuk McCrystal tidak dapat memastikan hasil manajemen perang di Afghanistan.
Bila pasukan NATO tetap memaksa keluar dari Afganistan, Amerika terpaksa menanggung beban berat perang Afganistan seorang diri. Padahal sesuai data terbaru, bulan Agustus lalu adalah bulan paling berdarah selama delapan tahun menduduki negara ini. Bahkan kini anggaran perang Afganistan di tahun 2010 ternyata lebih besar dari bujet perang Iraq. [cha, irb/hidayatullah.com]