Hidayatullah.com–Pemimpin partai Islam terpenting Tunisia, Al-Nadha, Rasyid al-Ghannushi, hari Sabtu (15/1) mengatakan berencana pulang ke tanah air pasca hengkangnya presiden Zine al-Abindine Ben Ali.
“Intifada Tunisia berhasil menggulingkan rezim diktatur”, kata pemimpin politik yang hidup di pengasingan di London ini.
“Kini tiba saatnya bagi partai-partai politik mengganti rezim diktatorial dengan demokrasi. Saya bersiap-siap kembali ke tanah air,” kata laki-laki berusia 69 tahun itu.
Rasyid al-Ghannushi menyatakan akan balik ‘kampung’ pasca Presiden Tunisia Zine El Abidine Ben Ali melarikan diri hari Jumat dari negaranya akibat konflik yang berakhir dengan kerusuhan di Negerinya. Beberapa media asing melaporkan, hari Sabtu, Ben Ali yang telah 23 tahun menjabat sebagai presiden Tunisia terlihat mendarat di Saudi.
Pengasingan
Al-Ghannushi lahir tahun 1941 di luar al-Hama, di provinsi Qabis Tunisia selatan. Lulus dari Universitas Zaytuna ia masuk sekolah pertanian di Universitas Kairo tahun 1964. Setelah pengusiran Tunisia dari Mesir karena perselisihan antara Jamal Abdul Nasser dan Habib Bourguiba, ia berangkat ke Suriah dan belajar filsafat di Universitas Damaskus. Sebelumnya, Rasyid Al-Ghannushi awalnya bergabung dengan Partai Sosialis Eropa, namun kemudian berubah memilih pandangan lebih religius. Dia menghabiskan satu tahun di Sorbonne Prancis sebelum kembali ke Tunisia. Bersama teman-temannya, di Tunis, ia membentuk organisasi yang ditujukan untuk reformasi masyarakat Tunisia berdasarkan prinsip-prinsip Islam.
April tahun 1981 ia mendirikan gerakan “al-ittijah al-islami”, sebuah gerakan Islam anti kekerasan menyerukan untuk sebuah “rekonstruksi kehidupan ekonomi secara lebih adil, mengakhiri partai politik tunggal dan menerima demokrasi”.
Sayang, pengkritik keras presiden Ben Ali ini pada bulan Juli ditangkap bersama pengikutnya. Ia dihukum sebelas tahun penjara di Bizerte dan menerima banyak siksaan. Ia dibebaskan pada tahun 1984, namun kembali ke penjara pada tahun 1987 dengan hukuman seumur hidup.Tahun 1988 ia dipindahkan ke Eropa sebagai pengasingan politik, dan tinggal di sana sampai awal 1990-an.
Selama kepergian Ben Ali, Perdana Menteri Mohammad Ghannushi mengatakan telah mengambil-alih sebagai presiden sementara.
Namun dari pengasingan, Rasyid al-Ghannushi mengatakan, Perdana Menteri Mohammad Al-Ghannushi adalah orangnya Ben Ali dan tidak akan membawa perubahan apapun atau reformasi.
Karenanya, ia tetap meminta masyarakat untuk terus menyerang mereka sampai Ben Ali dan orang-orangnya mengundurkan diri.
Dari pengasingan, ia menekankan pentingnya memiliki pemerintah persatuan nasional yang mencakup semua kekuatan politik dan akademisi serta memiliki pendekatan baru untuk membangun negara yang kuat dan membawa reformasi politik dan sosial. [ihw/rnw/cha/hidayatullah.com]