Hidayatullah.com—”Revolusi Mesir pada tanggal 25 Januari, memaksa mayoritas orang berfikir dan meninjau ulang pemahaman yang mereka miliki, yang sebelumnya pemahaman itu tidak bisa dikritik dan ditinjau ulang, lebih-lebih untuk bisa diubah.” Demikian, Khalid As Syafi’i, salah satu penulis dari komunitas Muslim yang menamai diri mereka dengan Salafi, memulai tulisannya yang berisi introspeksi terhadap pemahaman yang dianut komunitasnya. Demikian dikutip onislam, (8/3)
Dai ini mengakui bahwa jama’ah yang diikutinya mengalami keterkejutan yang bukan main, ketika berhadapan dengan sebuah “gerakan total”, di saat dakwah mereka tidak siap melakukan perubahan yang lebih kecil daripada kejadian itu. Berbeda dengan Al Ikhwan Al Muslimun, menurutnya, mereka memiliki kesiapan yang sangat sempurna dan dengan kesadaran penuh berhadapan dengan peristiwa itu, dan hal itu merupakan kunci keberhasilan “revolusi”, dangan taufik dari Allah.
Manurutnya, Al Ikhwan Al Muslimun sejak dalam masa yang cukup lama, mereka tahu tujuan, hingga mereka dalam kesiapan dalam menghadapi peristiwa yang cukup singkat tersebut, tanpa ada keragu-raguan. Langkah-langkah sudah mereka persiapkan. Hal ini terlihat bagaimana mereka menolak tawaran-tawaran politik, di saat banyak dari manusia menilai bahwa tawaran-tawaran tersebut sudah cukup.
Hampir Jatuh Martabat
Di saat terjadinya gerakan revolusi, Khalid As Syafi’i menilai bahwa komunitas yang diikutinya hampir saja jatuh martabatnya. Hal itu terjadi ketika berbagai pengamat, baik yang pro revolusi maupun yang tidak, menilai bahwa Salafi bisa jadi tidak mendapatkan tempat di jalanan, dan kehilangan banyak pengikutnya, setelah mereka dibiarkan kebingungan. Posisi mereka antara teguh dalam pendirian, sekaligus ikut-ikutan.
Penulis mengaku, salah satu dari pengikut Salafi berada dalam posisi di atas. Menurutnya, banyak dari kalangan Salafiyin dan rakyat sipil yang terbunuh dalam revolusi 25 Januari yang lalu, sehingga mulailah mereka melakukan introspeksi. Penulis sendiri, sebelum mempublikasikan tulisan otokritik ini, ia sudah berkonsultasi kepada salah satu syeikh dalam komunitas ini, dan hal ini telah disetujui.
Mengenai latar belakang “kesalafian”, penulis menyatakan bahwa ia benar-benar berada dalam komunitas tersebut, ialah yang menulis buku “Al Huwayini Aladzi A’rifuhu” (Al Huwayyini yang Aku Ketahui), “Ar Radd Ad Dami fi Difa’ an As Syaikh Yasir Burhami” (Bantahan Berdarah dalam Pembelaan terhadap Syaikh Yasir Burhami), “Ana Wahabi, Fa Kana Madza?” (Saya Wahabi, Memang Kenapa?), “At Taghyir Aladzi Yuriduhu As Salafiyun” (Perubahan yang Diinginkan Salafiyun).
Penulis menyatakan bahwa dirinya tidak sendiri, bahkan keadaan lebih parah meluas di komunitas Salafi. Manurutnya, saat inilah tiba waktunya untuk berterus terang, “Saat inilah waktunya ‘Revolusi 25 Januari Salafi’”. Revolusi tidak untuk menjatuhkan “perundang-undangan”, tapi untuk pelurusan dan perbaikan, untuk sampai kepada manhaj Salafi yang sebenarnya.”*