Hidayatullah.com—Setelah mendidih selama berbulan-bulan, perdebatan luas dan sengit atas program kontrasepsi yang dilakukan pemerintah Filipina telah memasuki ranah Kongres.
Persoalan atas program itu berkaitan dengan sikap konservatif dan posisi Katolik yang kuat, yang berkeyakinan kontrasepsi merupakan tindakan berdosa sebagaimana aborsi. Pendirian ini bertentangan dengan kaum reformis yang ingin keterbukaan lebih lanjut tentang penggunaan kondom dan pengendalian kelahiran lainnya di negara miskin Asia Tenggara tersebut guna memperlambat pertumbuhan penduduk dan membantu mencegah penyakit.
RUU Kesehatan Reproduksi disampaikan pada Selasa (17/5) di DPR, mengharuskan pemerintah memberikan informasi tentang metode KB, membuat kontrasepsi tersedia secara gratis dan memperkenalkan kesehatan reproduksi, dan mengenalkan kesehatan reproduksi di sekolah.
Presiden Benigno Aquino III, yang masih populer setahun setelah kemenangan telaknya dalam pemilu, mendukung metode pengendalian kelahiran ini, sekalipun ini berarti ia melawan gereja Katolik yang dominan. Dia mengatakan bulan lalu, sudah siap menghadapi konsekuensi, bahkan pun jika menghadapi resiko pengucilan.
‘Saya telah diajarkan di sekolah, yang merupakan institusi Katolik, bahwa wasit terakhir sesungguhnya adalah hati nurani kita,” kata Aquino pada wartawan hari Rabu (18/5). “Kami tidak mencari perdebatan dengan gereja. Semua terbuka. Saya telah mengundang gereja banyak kali, sehingga kita dapat berdiskusi, dan kami telah berfokus pada hal di mana kita bisa mengambil kesepakatan.”
Pendukung RUU Kesehatan Reproduksi percaya, dengan UU itu pertambahan penduduk Filipina dapat diperlambat. Mereka berkeyakinan, pertumbuhan penduduk yang cepat telah memberikan kontribusi terhadap kemiskinan yang berat. Sekitar sepertiga dari 94 juta di negara itu hidup dengan 1 dolar AS (Rp 8500) per hari.*