Hidayatullah.com–Sembilan tahun sejak Amerika Serikat (AS) berhasil menggulingkan rezim Saddam Husein di Iraq, kondisi perpolitikan terus tetap memburuk. Kepentingan “Syiahnisasi” dan luka masyarakat Sunni atas kedzaliman milisi Syiah di Iraq semakin mengeras.
Muhammad Jabar, warga Muslim Iraq mengaku, setiap kali keluar dari rumah harus memberi kabar ke rumahnya hampir setiap jam. Untuk memastikan bahwa dia dalam keadaan baik agar tidak terjadi kekhawatiran bagi keluarganya.
Kondisi mencekam sejak runtuhnya rezim Saddam Husein semakin menjadi-jadi dengan adanya benturan konflik horizontal antara kelompok Islam Sunni dan Syiah. Pemberangusan warga Sunni yang dimulai dari pembakaran Masjid-masjid Sunni diawal jatuhnya Saddam Husein, telah menciptakan perlawanan hebat dari para Mujahidin.
Terlebih sokongan senjata dari Iran bagi milisi Syiah di Iraq semakin membuat suasana politik tidak terkendali.
Kelompok Al Qaidah yang mengklaim berada dibalik setiap aksi perlawanan sendiri telah mendirikan Daulah Imarah Islam Iraq (Negara Islam Iraq).
“Kaum Sunni harus diperingatkan bahwa akan ada pembalasan jika serangan terhadap Syiah terus berlanjut,” kata Hasyim (18) seorang anggota milisi Syiah yang tinggal di Baghdad lingkungan Kota Sadr, daerah miskin di timur laut ibukota, di mana lingkungan tersebut adalah rumah bagi milisi Syiah Tentara Mahdi yang merupakan musuh bebuyutan al-Qaida dan Faksi Mujahidin Sunni lainnya di Iraq sejak tahun 2006.
Tercatat telah lebih dari 100.000 orang meninggal dunia atas pertikaian ini.
Dalam empat minggu terakhir telah terjadi puluhan serangan Al Qaidah ke jantung-jantung milisi Syiah, juga telah terjadi penembakan misterius yang menewaskan lebih dari 286 orang dari kelompok Syiah.
Saat ini perang gerilya bahkan telah berubah menjadi perang kota.
Secara terbuka aksi kekerasan kedua belah pihak tidak lagi dilakukan sembunyi-sembunyi. Krisis kepercayaan kepada pemerintah dalam menjamin keamanan rakyatn ya sendiri menurun, menyusul serangan-serangan Mujahidin yang semakin modern dan meningkat.
Laith Hashim, seorang warga Syiah mengaku, sedang mempertimbangkan untuk pindah dari Iraq jika keamanan tak kunjung membaik.
Kondisi perang antara sunni dan syiah yang terus mendidih menjadikannya salah satu dari sekian banyak warga Syiah yang mulai berpikir untuk meninggalkan Iraq, setelah 9 tahun lebih dominasi Syiah begitu mendiskriminasi warga Sunni di sana.
Gaya Hidup Barat
Di antara kenangan pahit lainnya bagian dampak invasi Amerika dan sekutunya di negeri 1001 mimpi ini adalah demokrasi dan gaya hidup hedonisme untuk generasi muda. Pasca masuknya tentara AS dan asing, musik, gaya hidup nge-pop dan tato melanda remaja Iraq.
Sepatu kets dan topi bisbol terbalik berlogo “NY”, anak-anak muda berusia sekitar 22 tahun memamerkan gerakan break-dance pada sore hari di taman kini jadi pemandangan di Baghdad.
“Orang lain mungkin berhenti menjadi rapper setelah orang-orang Amerika pergi, tetapi saya akan jalan terus sampai saja mencapai New York,” kata Mohammed, yang mengajar paruh waktu di sebuah sekolah dasar di Iraq. [Baca juga: Rap, Tato dan Pacaran Warisan Tentara Amerika]
Delapan juta warga Iraq – seperempat dari populasi penduduk itu sejak diinvasi Amerika dan sekutunya tahun 2003- telah lahir. Dan hampir setengah penduduk di negeri itu, kini berusia di bawah 19, demikian menurut Brett McGurk, mantan pejabat senior di Kedutaan Besar AS di di Baghdad.
Setelah bertahun-tahun menonton tentara AS berpatroli, tak terelakkan bahwa gaya hip-hop, pria lagak “preman” dan ucapaan bahasa Inggris telah menulari anak-anak muda di Iraq.
Menyebut diri mereka “punky,” atau “preman,” mengenakan kemeja hoodie, mendengarkan 50 Cent atau Eminem, menonton film “Twilight” film vampir. Mereka makan hamburger dan pizza serta berbuat nekat dengan bermain sepatu roda menembus lalu lintas padat. Tak hanya itu, para remaja juga mulai gandrung gaya rambut spike (gaya marinir). Dikepung budaya Barat dan didominasi Syiah-Iran, itulah kini yang dialami warga sipil Iraq.*