Hidayatullah.com—Kementerian Pendidikan Rwanda bersumpah memerangi kejahatan terhadap para pelajar putri, menyusul laporan hasil survei yang menunjukkan 43% siswi di seluruh penjuru negeri pernah menjadi korban pelanggaran seksual, termasuk perkosaan.
Kepada BBC Menteri Pendidikan Vincent Biruta mengatakan sangat prihatin, terlebih karena pelaku kejahatan seksual itu di antaranya adalah para guru.
Pemerintah Rwanda mewawancarai 2.052 pelajar di seluruh negeri, dengan komposisi 30% laki-laki dan 70% perempuan. Hasil survei menunjukkan, 1.600 gadis remaja di Rwanda meninggalkan bangku sekolah tahun lalu karena mengalami kekerasan seksual, dan 500 di antaranya dalam keadaan hamil.
Hasil survei itu dirilis pekan lalu oleh lembaga bentukan pemerintah Gender Monitoring Office (GMO), lapor BBC Kamis (9/5/2013).
Laporan itu menyebutkan, mucikari yang dikenal penduduk setempat sebagai “sugar daddy” dianggap sebagai biang kerok dari kejahatan seksual yang dialami para pelajar putri. Para guru dan sopir taksi termasuk dalam daftar teratas pelaku kejahatan seksual terhadap pelajar putri.
Ketua GMO Aquiline Niwemfura mengatakan, kemiskinan bisa jadi pangkal dari masalah tersebut.
“Anak-anak pergi ke sekolah tanpa transportasi, contohnya, tanpa uang saku untuk makan siang. Dan mereka mendapat godaan dari orang-orang yang memiliki banyak uang,” kata Niwemfura kepada BBC.
Katherine Nichol seorang pekerja di Plan Rwanda, sebuah LSM yang menggalakkan pendidikan untuk anak-anak perempuan di pedesaan, mengatakan bahwa angka yang sebenarnya bisa jadi lebih besar dari hasil survei tersebut.
Menurutnya, laporan survei itu hanyalah puncak dari gunung es masalah kejahatan seksual yang terjadi di Rwanda. Bentuk pelanggaran seksual yang dialami gadis remaja beragam, mulai dari sekedar sentuhan hingga pemerkosaan. Kebanyakan dari kasus pelanggaran seksual itu tidak dilaporkan, disebabkan adanya stigma negatif yang diterima korban dari warga masyarakat.*