Hidayatullah.com—Sebuah hasil penelitian oleh Dewan Nasional Anak di Israel mengungkap bahwa tingkat penyiksaan terhadap anak-anak di wilayah Israel lebih tinggi dari perkiraan selama ini.
Penelitian bekerjasama dengan Universitas Haifa itu dilakukan selama 3 tahun. Hasilnya menunjukkan, 48,5% anak-anak (hampir separuh dari kalangan Yahudi dan Arab) mengalami penyiksaan dalam berbagai bentuk, seperti fisik, mental, emosi dan seksual. Termasuk berupa penelantaran dan kekerasan dalam rumah tangga.
Dilansir Saudi Gazette (14/11/2013), Radio Israel melaporkan penelitian semacam itu merupakan yang pertama di Israel dengan sampel besar langsung dari kesaksian anak-anak yang mengalami penyiksaan.
Data diambil dari anak-anak kelompok usia 12, 14 dan 16 tahun atau kelas 6, 8 dan 10 baik dari kalangan Yahudi maupun Arab. Total jumlah anak yang ditanyai 8.239 anak Yahudi dan 2.274 anak Arab.
Namun, anak-anak yang mendapatkan pendidikan di Yeshiva (lembaga pendidikan khusus agama Yahudi, semacam seminari) tidak ikut diteliti. Baik dari Yeshiva yang dikelola pemerintah maupun Yeshiva milik Yahudi Ultra-Orthodoks.
Anak-anak yang mengaku mendapatkan siksaan dalam bentuk emosional mencapai 27,8 persen. Sebanyak 14,1 persen mengalami penyiksaan fisik, 14-15 persen mengaku diterlantarkan baik secara fisik maupun emosi, dan 8,6 persen mendapatkan kekerasan dalam rumah.
Persentase anak Arab yang mengalami penyiksaan lebih banyak (67,7 persen) ketimbang anak Yahudi. Namun perlu diingat responden anak Yahudi jauh lebih banyak dibanding anak Arab.
Terkait masalah kekerasan seksual, anak-anak ditanya apakah ada orang dewasa yang pernah menyentuh organ intim mereka atau memaksanya untuk menyentuh kemaluan orang dewasa.
Anak-anak Yahudi yang pernah mendapatkan kekerasan seksual mencapai 17,6 persen, sedangkan anak Arab 22,3 persen. Kekerasan seksual serius dialami 8,3 persen anak Yahudi dan 11,8 persen anak Arab.
Anak laki-laki cenderung mendapatkan siksaan dalam bentuk fisik dan emosi. Sementara anak perempuan mendapatkan siksaan dalam bentuk seksual dan kekerasan dalam keluarga.
Dalam banyak kasus anak-anak itu takut dan malu uantuk melaporkannya. Mereka lebih suka menceritakan penderitaannya kepada keluarga atau teman dibanding kepada para ahli. Tiga alasan utama mengapa mereka tidak melapor adalah malu, takut dan khawatir akan menyakiti orang lain.
Sedangkan alasan anak-anak melaporkan penyiksaan yang dialaminya antara lain ingin agar pelakunya dihukum, tidak tahan dengan siksaan yang dialami dan takut penyiksaan itu akan terus berulang.*