Hidayatullah.com—Presiden Suriah Bashar Al-Assad tidak pernah berpikir untuk mengundurkan diri atau membuat konsesi, khususnya dengan oposisi Suriah yang berbasis di luar negeri, kata mantan utusan khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa dan Liga Arab untuk Suriah Lakhdar Brahimi.
Dalam wawancara yang dipublikasikan koran Al-Hayat Rabu (25/6/2014), Brahimi mengatakan bahwa ketika dirinya meminta Assad untuk mengundurkan diri, presiden Suriah itu mmenjawab, “Tidak seorang pun berhak untuk menghalangi saya dari hak untuk dipilih kembali.”
Kepada koran berbasis di London itu Brahimi mengaku berusaha lebih dari sekali untuk bertemu dengan Wakil Presiden Suriah Farouk Al-Sharaa, yang tidak seperti Assad dia adalah seorang Muslim (Sunni) yang berasal dari Deraa tempat perlawanan rakyat terhadap rezim Assad muncul di tahun 2011.
Sharaa diyakini memiliki pandangan berbeda dengan Assad mengenai konflik di negaranya.
Dalam wawancara tahun 2012 dengan koran Libanon Al-Akhbar, Sharaa pernah menyatakan penentangannya terhadap operasi militer untuk memberantas perlawanan rakyat, dengan mengatakan bahwa Assad tidak menyembunyikan hasratnya untuk menerjunkan militer guna meraih kemenangan.
Kepada Al-Hayat Brahimi mengatakan bahwa rezim Damaskus menghalanginya untuk bertemu dengan Sharaa.
Menurut Brahimi, kepercayaan rezim Assad terhadap Sharaa dipengaruhi pernyataan pemerintah Turki, yang mengatakan mendukung wakil presiden Suriah itu sebagai orang yang mungkin akan menggantikan posisi Assad.
Tahun 2012 Menteri Luar Negeri Turki Ahmet Davutoglu mengatakan kepada stasiun televisi Turki TRT bahwa Sharaa tidak ikut serta dalam pembantaian yang terjadi di Suriah dan tidak ada orang yang lebih mengetahui soal sistem di Suriah lebih baik dibanding Sharaa.
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
Kepada Al-Hayat Brahimi juga mengatakan bahwa Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Lavrov pernah mengatakan kepada dirinya jika “pengaruh Moskow terhadap orang itu [Assad] lebih kecil dibanding yang disangka kebanyakan orang. Pengaruh kami [Rusia] atas Bashar lebih sedikit dibanding pengaruh Amerika atas [PM Israel] Benjamin Netanyahu.”*