Oleh: Brooke Benoit
BOIKOT, Divestasi dan Sanksi (BDS) adalah cara yang sangat bagus untuk mendukung Palestina dan alat yang terbukti efektif untuk perubahan sosial. Ada juga kesempatan untuk berkontribusi di sektor ini, di luar sumbangan amal, yaitu dengan membeli berbagai produk yang dibuat di Palestina.
Morgan Cooper dari California baru-baru ini membuka sebuah toko online ‘Made in Palestine’, yang menjual beberapa barang dari para penjual dan koperasi-koperasi di wilayah tersebut. Cooper menjelaskan bagaimana dan mengapa dia mengembangkan peluang perdagangan ini untuk kepentingan para pengrajin dan keluarga Palestina.
Cooper pertama kali datang ke Palestina sepuluh tahun yang lalu ketika ia mengunjungi seorang teman yang mengajar di Ramallah. Pada saat itu, ia hanya kenal satu keluarga Muslim dan menertawakan dirinya sendiri karena tidak tahu apa itu hummus dan falafel”.
Cooper menjadi terpikat kepada orang-orang dan budaya Palestina, lalu meminta temannya untuk mencari keluarga yang bersedia menjadi tuan rumah baginya agar bisa tinggal di Palestina lebih lama lagi. Keluarga dengan empat anak yang penuh kasih sayang itu mengadopsi Cooper sebagai anak, dan ia mulai mengunjungi wilayah itu selama beberapa bulan dalam setahun sampai ia akhirnya pindah dan hidup disana pada musim panas 2007.
Sebagai warga negara Amerika, Cooper merasa bimbang pergi ke wilayah tersebut, “Warga Amerika memiliki tanggung jawab khusus karena kami mendanai ketidakadilan luar biasa besar ini dan memberikan dukungan moral kepada penjajah Israel untuk menentang hukum internasional. Setiap kali saya berjalan melalui sebuah pos pemeriksaan, sebagai seorang Amerika saya merasakan ketidakadilan yang didanai pemerintah saya sendiri dan saya takut ketidakadilan ini akan menimpa keluarga baru saya. ”
Januari 2012, Cooper menikah dengan seorang Palestina bernama Saleh Totah, pemilik restoran dan aktivitis pecinta lingkungan, dan pasangan ini segera menginvestasikan tabungan mereka yang terbatas ke Mashjar Juthour, sebuah badan usaha pelestarian lingkungan yang dirancang untuk melestarikan flora dan fauna dari Palestina, serta memberikan tempat untuk merasakan udara segar yang menyehatkan kepada orang-orang Palestina yang telah terputus dari tanah air mereka.
Mashjar Juthour, yang berarti “tempat pohon-pohon” dan “akar”, telah disebut dengan beberapa nama, di antaranya “Museum hidup fauna dan flora Palestina” dan “Arboretum pertama Palestina.”
Juthour (karena mereka umumnya menyebutnya sebagai proyek) adalah sebidang tanah seluas 10 dunnams (sekitar 2,5 hektar) di Thahr al Okda yang terletak di atas bukit di pinggiran kota Ramallah.
Juthour bukan hanya melindungi dan melestarikan pohon zaitun kuno dan pohon ek liar, sebagai taman pelestarian lingkungan, juga menyediakan ruang terbuka bagi masyarakat untuk menikmati alam bebas. Terdaftar sebagai usaha nirlaba, Juthour menjadi tuan rumah bagi banyak lokakarya dan kegiatan untuk membantu menghubungkan orang-orang Palestina kepada tanah air mereka, warisan sah mereka.
Pada Oktober 2013, Juthour mempekerjakan staf agar bisa secara baik dan benar mengolah dan merawat tumbuh-tumbuhan yang diabaikan, sambil melanjutkan ujuan utama, yaitu untuk menyediakan perkemahan musim panas, terutama bagi anak-anak yang tinggal di kamp-kamp pengungsi. Kebutuhan ruang hijau bagi anak-anak dijelaskan oleh Cooper:
“Lebih dari 750.000 warga Palestina pada tahun 1948 dipaksa oleh para pemukim Zionis untuk meninggalkan rumah mereka. Saat ini mereka tinggal di daerah kumuh. Orang-orang ini yang memiliki tanah – yang dipanen hasilnya sepanjang musim oleh para pemukim Zionis – begitu terasing dari warisan alam mereka “.
Seorang gadis muda yang baru-baru ini mengunjungi perkemahan musim panas ini mengatakan kepada Totah, “Saya berharap kami bisa pindah ke sini. Saya berharap rumah saya selalu di sini.”
Cooper menjelaskan,” Gadis itu tinggal di kamp pengungsi wilayah Jala, sebuah komunitas yang dibangun di luar Ramallah dengan rumah-rumah beton yang tinggi dan dipisahkan dengan jalan sempit, berhadapan dengan pemukiman ilegal Israel dimana orang-orang Yahudi Israel sering menembaki anak-anak sekolah Palestina”.
Kisah Dibalik ‘Made in Palestine’
Memperoleh dana untuk perkemahan Juthour terbukti lebih menakutkan daripada yang Cooper sangka. Setelah pengalaman ditawari sejumlah kecil dana yang dibatasi untuk tidak digunakan untuk membiayai infrastruktur yang diperlukan, Cooper mulai mencoba penggalangan dana melalui penjualan barang buatan lokal. Awalnya Cooper berusaha membina hubungan, untuk mengenal produk-produk yang dibuat secara lokal dan orang-orang yang membuatnya.
Dia membeli barang-barang secara terbuka dalam praktek perdagangan yang fair dan menjualnya kembali di beranda sebuah kafe di Ramallah. Tak lama kemudian, Cooper mulai menjual barang-barang ke luar negeri, tapi karena dia menikah dengan orang Palestina, dia dilarang memasuki Yerusalem dan menggunakan layanan pos yang lebih kredibel.*/bersambung Hidup di Bawah Pendudukan