Hidayatullah.com—Pemerintah Tajikistan telah melarang haji, ziarah ke Tanah Suci Makkah kepada warga Muslim yang berusia kurang dari 35 tahun.
Banyak yang meyakini, pelarangan pemerintah Tajikistan tersebut sebagai untuk mencegah pemuda Tajik mengembangkan ide-ide radikal dan khawatir bergabung dengan kelompok ekstremis seperti ISIL/ISIS.
Gagasan pelarangan ini muncul satu bulan lalu setelah Presiden Emomali Rahmon menyerukan pembentukan “pembangunan jangka panjang berdasarkan konsep sekularisme “.
Dikutip Worldbulletin, Komite Pemerintah untuk Keagamaan dan Kebudayaan mengumumkan pembatasan haji dimulai pada 13 April 2015 ini.
Komite beralasan hal ini dimaksudkan untuk memberikan kesempatan Muslimin yang sudah berusia tua untuk melakukan haji di Makkah, di mana pemerintah Saudi disebut membatasi jumlah jamaah haji di masing-masing negara setiap tahunnya.
Namun Emomali Rahmon berulang kali mendesak pemerintah untuk penguatan prinsip sekulerisme di negara berpenduduk Muslim berjumlah 8,5 juta ini.
Tahun-tahun sebelumnya, ada 8000 warga Tajikistan yang memiliki penduduk sekitar delapan juta orang, berangkat haji. Namun, pemerintah Arab Saudi berusaha membatasi jamaah haji dan memutuskan mengurangi kuota tahun ini.
“Tahun ini, hanya 6.300 kuota telah diterbitkan oleh Arab Saudi ke Tajikistan,” kata Komite.
Tekanan pada Muslim
Mayoritas penduduk Tajikistan (98%) adalah Muslim, (95% Sunni dan Syiah 3%), beberapa sufi. Tahun 2010 para pejabat di Dushanbe mengamati bahwa Syiah telah meningkat dari sekitar 11 persen menjadi 33,4 persen dari seluruh umat Islam di Tajikistan hanya setahun atau dua tahun.
Perkembangan Islam menggeliat dengan cepat di Tajikistan membuat pemerintah ketakutan. Fenomena tren janggut dan jilbab di negara bekas pecahan Uni Soviet ini sempat membuat pemerintah melarang pemuda dan wanita mendatangi masjid.
Pemerintah Tajikistan pernah menarik kembali mahasiswa yang tengah mendalami ilmu agama di Mesir, Suriah dan Iran. Melarang jilbab untuk anak sekolah, menutup paksa masjid pribadi dan situs–situs Islam, melakukan sensor ketat pelaksanaan khotbah Jumat dan menangkapi pria –pria berjanggut.
Akibat kebijakan tersebut, Organisasi Kerjasama Islam (OKI) dan Partai Renaissance Islam Tajikistan mengkritik dan menganggap pemberlakukan undang-undang itu bertentangan dengan UUD Republik dan hukum internasional soal kebebasan hak warga negara.
Komisi Kebebasan Beragama Internasional (USCIRF) bahkan pernah mendesak pemerintah AS memberikan tekanan pada Presiden Tajikistan Emomali Rahmon.*