Hidayatullah.com–Taslima Nasrin, seorang penulis feminis, yang juga pemenang penghargaan Bangladesh dikabarkan melarikan diri dari India ke Amerika Serikat setelah dirinya dinyatakan sebagai sasaran pembunuhan kelompok Al-Qaidah, demikian kata sebuah kelompok HAM.
Center for Inquiry yang bermarkas di Amerika Serikat mengatakan Taslima tiba di AS minggu lalu.
Taslima “secara khusus disebut sebagai sasaran jangka pendek” oleh kelompok yang juga dituduh membunuh tiga penulis blog sekuler tahun ini di Bangladesh.
Baru-baru ini Taslima mengirimkan tweet bahwa dirinya tidak merasa aman di India.
“Diancam kelompok Islamis yang membunuh blogger atheis di B’desh. Khawatir,” demikian cuitnya dikutip BBC.
“Ingin bertemu GOI (pemerintah India) tetapi tidak mendapat janji. Pergi. Akan kembali saat merasa aman.”
Usul Menggannti Isi Al-Quran
Aktivis feminis berumur 52 tahun tersebut terpaksa meninggalkan Bangladesh pada tahun 1994, karena menerima banyak ancaman pembunuhan akibat sejumlah tulisannya.
Tahun 1993, Taslima Nasrin pernah didemo sekitar 7.000 Muslim Bangladesh dan menuntut agar penulis wanita itu digantung. Kelompok radikal Towhidi Jagrata menjatuhkan hukuman mati pada wanita yang juga dikenal sebagai dokter itu.
Sejak 1989, feminis Bangladesh itu rajin menyerukan pikiran-pikiran liberal dari Barat. Dalam sebuah wawancaranya dengan harian The Statesman di India, Nasrin mengusulkan sebaik-nya isi Al-Quran diubah. Wawancaranya kemudian dimuat Bangladesh Time di Dhaka.
Secara khusus, pemerintah Bangladesh pernah mengeluarkan perintah untuk menangkapnya. Bahkan ulama Bangladesh, Maulana Azizul Haque, pernah memberi hadiah 50.000 taka bagi siapa saja yang membawa kepala Nasrin kepadanya.
Hampir semua buku-buku karya Nasrin dilarang di Bangladesh. Dalam sebuah peluncuran bukunya tahun 2007, ia hamper saja dilempar benda keras oleh kelompok Muslim dari Majlis Ittihadul Muslimin (MIM) Bangladesh.
Sebelumnya, ia pernah memperoleh suaka politik dari Pemerintah Swedia. Nasrin sempat tinggal di Eropa dan Amerika Serikat selama sepuluh tahun sebelum India memberikan izin tinggal sementara pada tahun 2004.*