Hidayatullah.com—Mahkamah Agung Amerika Serikat telah memutuskan bahwa perkawinan homoseksual legal dilakukan di seluruh wilayah Amerika. Namun, menurut hakim agung yang menolak atau desenting opinion, keputusan itu merupakan pemberontakan yudisial, lansir BBC (27/62015).
Hari Kamis (25/6/2015) legalisasi perkawinan sesama jenis mendapatkan persetujuan Mahkamah Agung AS dengan 5 suara mendukung dan 4 menolak. Sehingga, perkawinan homoseksual diakui tidak hanya di 37 negara bagian yang telah melegalkannya, tetapi juga di negara bagian lain yang belum mengakuinya.
Hakim Antonin Scalia dan Hakim Kepala John Roberts termasuk yang menolak legalisasi perkawinan homoseksual. Mereka menilai keputusan itu berarti memaksakan kehendak segelintir elit di MA atas 320 juta rakyat Amerika dari ujung pantai barat ke ujung pantai timur.
“Mereka ingin mengatakan bahwa siapa saja warganegara yang tidak setuju dengan itu (legalisasi perkawinan homoseksual, red), yang mengikuti ketentuan lama, sampai 15 tahun lalu, pendapat yang disepakati segenap generasi dan masyarakat, berarti menentang konstitusi,” kata Scalia dalam disenting opinion-nya
Scalia menyebut keputusan itu sebagai “pemberontakan yudisial” dan “ancaman terhadap demokrasi”, di mana kelompok mayoritas mengarang (mengada-adakan) sebuah hak untuk menikah yang seluruh pakar hukum Amerika sebelum mereka telah mengkajinya.
Dengan memperluas interpretasi atas Amandemen Ke-14 (yang menjamin persamaan dalam perlindungan hukum) dengan cara memasukkan hak universal perkawinan sesama jenis kedalamnya, MA berarti telah memberikan dirinya sendiri kekuasaan tidak terbatas, kata Scalia.
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
Sementara itu John Roberts, meskipun menolak tegas, tidak terlalu keras menyatakan penolakannya.
“Banyak orang yang akan bersuka cita dengan keputusan ini, dan saya tidak iri sama sekali dengan perayaan mereka itu,” kata Roberts.
Dalam kesimpulannya, Roberts mengatakan bahwa adalah peran lembaga legislatif untuk membuat kebijakan sosial, bukan para hakim.*