Hidayatullah.com- Sekitar 1 dari 10 Yahudi Israel tidak dapat menikah secara resmi. Demikian pengakuan anggota legislator pekan lalu, menyebabkan terjadinya reaksi balasan terhadap kewenangan otoritas agama Israel tersebut.
Aktivis kebebasan beragama di Israel menunjukkan data yang membuktikan bahwa 660.000 Yahudi Israel tidak mendapat hak untuk menikah. Lebih dari setengahnya –364.000– adalah imigran yang berasal dari bekas Uni Soviet yang ke-Yahudiannya secara resmi tidak diakui.
Menurut angka dari pemerintah, populasi Yahudi Israel berkisar 6,3 juta orang.
Kepala Rabi, otoritas keagamaan tertinggi di Israel bagi kaum Yahudi, memiliki kekuasaan khusus atas berbagai masalah pribadi, termasuk perpindahan agama, pernikahan, dan perceraian.
Mereka juga membatasi waktu pembukaan dalam bisnis dan pengoperasian transportasi umum di Hari Sabbath (hari suci kaum Yahudi) dan menjadi pengawas yang mengatur produksi makanan (semacam sertifikasi halal, red).
Uri Regev mengatakan bahwa orang Israel sudah muak “dibelenggu” oleh Pemimpin Rabi Yahudi. Uri Regev merupakan seorang rabi yang mengepalai Hiddush, sebuah organisasi pendukung pluralisme beragama yang telah menunjukkan statistik tersebut pada parlemen.
“Monopoli (rabi Yahudi) tidak hanya merusak kebebasan beragama bangsa Israel tetapi juga meningkatkan ketidakpuasan rakyat, bahkan kebencian, terhadap Yahudi,” ujaranya pada Middle East Eye (MEE) Kamis (21/01/2016) lalu.
Otoritas Yahudi itu mewakili sebuah aliran Yahudi garis keras yang juga dikenal sebagai Ortodox. Sedangkan lainnya, yang cenderung liberal dan tidak memiliki badan resmi.
Tetapi Regev mengatakan otoritas itu menjadi lebih ekstrim, baru-baru ini banyak kepala rabi yang berasal dari gerakan fundamentalis ultra-Ortodox (atau disebut Haredim). Mereka secara khusus menggenakan penutup kepala berwarna hitam dan jaket seperti seragam para rabi Eropa abad 18.
Ofer Cornfeld, Ketua Havaya, organisasi yang melayani pernikahan sipil di Israel, mengatakan: “Rabi Rabi Yahudi terjebak dalam cara pandang terhadap dunia yang berasal dari 200 tahun lalu, ketika Yahudi hanya menjadi identitas agama.
“Tetapi di Israel hari ini kenyataannya berbeda. Banyak Yahudi di sini memiliki identitas sekuler yang sangat kuat,” ujarnya pada MEE. “Para rabi berpikir mereka dapat terus mengubur kepala mereka di pasir, tetapi mereka salah.”
Menurut sebuah peta global dari hak menikah yang dikeluarkan oleh Hiddush, polisi Israel dinilai berada dalam satu garis dengan negara-negara seperti Arab Saudi, Afghanistan dan Korea Utara.
Permasalahan dihadapi mereka yang hak untuk menikahnya ditolak telah meningkat tajam pada tahun-tahun belakangan ini hingga dilaporkan satu dari lima pernikahan dilakukan di luar negeri, khususnya di Cyprus atau di Praha, kata Cornfeld.
Israel mensahkan pernikahan pasangan yang menikah di luar negeri.
Berdasarkan undang-undang yang disetujui pada tahun 2013, pasangan Yahudi tetap melakukan pernikahan di Israel meskipun hak mereka ditolak oleh para rabi Yahudi beresiko dikenai hukuman penjara dua tahun.
“Israel adalah satu-satunya negara di dunia yang memenjarakan orang karena memasang tenda pernikahan dan melangsungkan sebuah upacara pernikahan,” ujar seorang anggota parlemen Aliza Lavie.
Mereka yang ingin berpindah agama –seringkali sebagai permulaan dalam menikah– menghadapi berbagai halangan dari otoritas Yahudi tersebut juga. Mereka disyaratkan mengikuti gaya hidup Ortodox yang ketat, untuk memastikan hanya beberapa ratus dari mereka yang lolos setiap tahunnya.
Meskipun bagi mereka yang menikah secara sipil di luar Israel, Kepala Rabi Yahudi melalui pengadilan agama yang menguasai wewenang khusus pada proses perceraian berikutnya, kata Cornfeld.
Kekuasaan otoritas tertinggi Yahudi itu berasal dari Sistem Millet Kekaisaran Ottoman (Kekhalifaan Utsmaniyah), sistem di mana kaum minoritas non-Muslim diberikan kebebasan dalam menyelenggarakan agama mereka di wilayah Islam. Israel mensahkan (millet system) pada waktu negara itu menjajah Palestina tahun 1948. Tidak ada institusi sipil yang dibuat serupa dengan itu.
Dengan menetapkan identitas agama bagi penduduk Israel – biasanya bergama Yahudi, Islam, Kristen atau Druze – pernikahan antar agama menjadi hal yang hampir tidak mungkin dilakukan kecuali salah satu pihak berpindah agama.
Para ahli berpendapat bahwa sistem yang dianut kekaisaran Ottoman (Utsmaniyah) membantu kekaisaran itu memaksa kebijakan membagi dan memerintah seluruh kerajaan mereka.
Munculnya sistem itu di Israel dinilai telah berperan dalam menghalangi “percampuran” – ketakutan bahwa orang Yahudi mungkin akan menikahi non Yahudi, khususnya anggota kaum minoritas Palestina, yang merupakan seperlima dari populasi Israel.
Carolina Landsmann, seorang komentator yang bekerja pada Harian Haaretz, menulis: “Sementara para Yahudi sekuler ditugaskan untuk menjaga perbatasan fisik negara melalui layanan militer, tugas menjaga perbatasan identitas negara diletakkan di tangan ultra-Orthodox.”
Meskipun begitu Kepala Rabi Yahudi lebih mengkhawatirkan bahwa karakter Yahudi Israel akan diperlemah oleh interpretasi liberal yang mengaku sebagai Yahudi, kata Seth Farber, seorang rabi Orthodox yang mengepalai Itim, organisasi yang membantu imigran dalam perjuangannya dengan otoritas rabi.
Yahudi ‘Tidak Tersentuh’
Krisis pernikahan yang sedang dihadapi ratusan dari ribuan orang Israel merupakan warisan dari kedatangan ribuan imigran yang berasal dari bekas Uni Soviet pada tahu 1990-an.
Para pendatang baru disetujui berdasarkan undang-undang, yang memperbolehkan siapapun dengan kakek-nenek Yahudi untuk mengklaim kewarganegaraan Israel dan membawa dengan keluarga dekat mereka.
Tetapi rabi Orthodox berpegang teguh pada ajaran tradisional rabi, dikenal sebagai halacha, yang mengakui seorang itu Yahudi jika seseorang dapat membuktikan mereka memiliki ibu yang beragama Yahudi.
Hasilnya, sekitar 360.000 dari imigran itu telah diklasifikasikan “tanpa agama,” menyebabkan menikah di Israel menjadi hal yang tidak mungkin.
“Ini menciptakan sebuah krisis sosial,” kata Cornfeld. “Israel menetapkan agama para warganya dan identitas nasionalnya tanpa berkonsultasi dengan mereka. Mereka tidak berbicara dalam hal ini.”*/Nashirul Haq AR