Hidayatullah.com—Pengadilan Kriminal Internasional (ICC) menghukum mantan wakil presiden Kongo Jean-Pierre Bemba 18 tahun penjara untuk pembunuhan, pemerkosaan, perampokan oleh pasukannya pada masa perang di Republik Afrika Tengah (CAR) lebih dari sepuluh tahun silam.
Keputusan yang diumumkan hari Selasa (21/6/2016) itu memfokuskan pada aksi pasukannya, ketika itu Bemba memimpin tentara bayaran berkekuatan 1.500 pria, yang ikut campur dalam perang sipil di negara tetangganya, Republik Afrika Tengah.
“Majelis menghukum Jean-Pierre Bemba Gombo total 18 tahun penjara,” kata hakim Sylvia Steiner. Dalam putusannya majelis hakim mengatakan mantan komandan milisi itu gagal mengontrol tentara bayaran yang menjadi anak buahnya yang dikirim ke CAR pada akhir Oktober 2002, di mana mereka melakukan pemerkosaan sadis, pembunuhan, serta perampokan dengan kekerasan.
Fadi El-Abdullah, seorang juru bicara ICC mengatakan kepada Aljazeera bahwa keputusan itu penting bagi para korban dan untuk pertama kalinya korban-korban itu melihat keadilan ditegakkan atas kejahatan yang dilakukan terhadap mereka.
Tim penuntut di ICC sebenarnya meminta agar Bemba divonis sedikitnya 25 tahun penjara.
Kasus itu menjadi penting sebab untuk pertama kalinya ICC memproses kasus pemerkosaan sebagai salah satu bentuk senjata dalam peperangan. Sebelumnya, kasus pemerkosaan yang terjadi pada masa perang hanya dianggap sebagai tragedi dan tidak dianggap sebagai bagian dari kejahatan perang atau kejahatan terhadap kemanusiaan.
Bemba dinyatakan bersalah pada bulan Maret lalu dalam dua dakwaan kejahatan terhadap kemanusiaan, serta tiga dakwaan kejahatan perang.
Penangkapan Bemba pada tahun 2008 sempat menjadi kejutan besar baik bagi dirinya sendiri dan pendukungnya maupun oposisinya di Kongo. Dia hidup dalam semi-pengasingan di Eropa selama beberapa tahun ketika penuntut ICC mengeluarkan surat perintah penangkapan ketika dirinya berkunjung ke Belgia.
Milisi yang dipimpinnya, Movement for the Liberation of Congo (MLC), dengan sengaja menarget warga sipil sebagai “modus operandi” guna mencegah kudeta atas presiden Republik Afrika Tengah ketika itu Ange-Felix Patase.
Pria, wanita dan anak-anak yang menjadi targetnya semua diperkosa oleh anggota MLC, bahkan ada kasus di mana tiga generasi keluarga yang sama diperkosa beramai-ramai oleh militan MLC dengan todongan senjata dan sanak kerabat mereka dipaksa menyaksikan pemerkosaan itu.*