Hidayatullah.com—Pihak berwenang Bosnia menetapkan warga Arab Saudi yang ingin bepergian ke Bosnia dan Herzegovina harus mendapatkan visa masuk, apakah kunjungan itu untuk kepentingan komersial, personal atau wisata dan peraturan di Bosnia melarang pria Saudi menikahi wanita Bosnia.
Negara itu belakangan banyak dikunjungi orang-orang Saudi.
Kedutaan Arab Saudi di Bosnia telah mempublikasikan sejumlah syarat yang harus dipenuhi warganya yang akan berkunjung ke Bosnia, termasuk meminta visa masuk di Kedutaan Bosnia di Riyadh.
Kedutaan Saudi juga menegaskan bahwa hukum di Bosnia melarang pria Saudi menikahi wanita Bosnia, kecuali dia dapat membuktikan bahwa statusnya belum atau tidak menikah, lapor Arab News Selasa (2/7/2016).
Pihak berwenang Bosnia menjelaskan bahwa warga Saudi yang bepergian ke negaranya harus menerima undangan bisnis dari perusahaan atau lembaga di Bosnia, undangan personal dari seorang warga Bosnia, atau jika dia wisatawan maka harus menyerahkan bukti otentik pemesanan kamar di salah satu hotel di negara itu. Warga Saudi pemegang paspor diplomatik atau paspor khusus dikecualikan dari persyaratan tersebut.
Peraturan di atas bukan peraturan mengejutkan pertama yang dibuat Bosnia.
Larangan hijab
Pada bulan Februari wanita Bosnia pengguna hijab melakukan unjuk rasa setelah muncul kabar bahwa pemerintah memiliki peraturan yang melarang penggunaan hijab di institusi-institusi hukum di negara itu.
Dilansir Aljazeera Kamis (4/2/2016), pengacara, jaksa dan pegawai lain di institusi hukum atau kehakiman tidak lagi dapat mengenakan hijab atau kerudung penutup kepala wanita Muslim saat bekerja. Sementara bagi pihak ketiga, seperti saksi, akan diperbolehkan masuk ruang persidangan dengan mengenakan hijab setelah dikaji kasus per kasus. Hakim juga dilarang berhijab.
Peraturan yang diputuskan Dewan Pengadilan dan Kejaksaan Tinggi itu sebenarnya ditetapkan dalam rapat-rapat yang digelar pada bulan September dan Oktober 2015. Namun, baru mencuat ke publik sekitar pertengahan Januari 2016.
Meskipun ribuan orang berunjuk rasa di Sarajevo dan kota-kota lainnya di Bosnia memprotes peraturan itu, pada 11 Februari lalu Dewan Pengadilan dan Kejaksaan Tinggi bersikukuh menerapkannya.
Milan Tegeltija, ketua dewan tersebut, mengatakan pihaknya hanya mengimplementasikan peraturan perundangan yang ada.
“Kami tidak mengada-ada,” kata Tegeltija, seraya menambahkan bahwa jika ada orang yang menganggap peraturan itu tidak benar, maka tempat untuk mengubahnya adalah di parlemen dan bukan di lembaganya.
“Di samping itu, faktanya Bosnia dan Herzegovina adalah sebuah negara sekuler. Di negara sekuler, apapun harus sekuler, terutama di lembaga-lembaga publik yang memutuskan hak dan kepentingan rakyat,” kata Tegeltija seperti dikutip Aljazeera.
Dilansir Radio Free Europe (11/2/2016) Tegeltija berdalih larangan tersebut sejalan dengan larangan penggunaan simbol-simbol keagamaan di kalangan praktisi atau pegawai bidang hukum dan kehakiman yang bertujuan untuk menunjukkan bahwa lembaga hukum tidak berpihak kepada satu golongan.
Dalam peraturan yang diprotes itu, hijab disebutkan secara khusus termasuk yang dilarang dikenakan.
Menurut hasil awal sensus penduduk 2013, populasi Muslim di negara Bosnia dan Herzegovina mencapai 50%.
Bosnia dan Herzegovina adalah salah satu dari enam republik yang selama 50 tahun membentuk Republik Federal Sosialis Yugoslavia. Saat masih bergabung dalam federalisme itu, seperti umumnya negara sosialis dan komunis, kebebasan beragama warga ditekan sebesar-besarnya. Setelah Yugoslavia bubar, semangat melaksanakan perintah agama di kalangan Muslim sangat tinggi, termasuk berhijab bagi Muslimah.*