Hidayatullah.com—Sudan Selatan kembali terjerumus ke dalam perang, kata seorang juru bicara untuk wakil presiden kepada BBC, sementara faksi-faksi saling bertempur dan ratusan orang dikabarkan tewas karenanya.
Pasukan yang loyal kepada Wakil Presiden Riek Machar mengatakan tentara pemerintah menyerang posisi mereka di ibukota Juba.
Namun, Menteri Informasi Michael Makuei Lueth mengatakan laporan itu “tidak jujur”, lapor BBC Ahad (10/7/2016).
Kolonel William Gatjiath, juru bicara pasukan pendukung Machar, kepada BBC mengatakan bahwa Presiden Salva Kiir tidak serius soal kesepakatan damai.
Menurutnya, ratusan anggota pasukan Machar tewas hari Ahad kemarin, dan loyalis wakil presiden itu bergerak menuju Juba dari arah berbeda-beda.
Menteri Lueth mengatakan bahwa pasukan pemerintah hanya membalas serangan yang dilakukan pasukan Machar atas sebuah pos pemeriksaan, seraya menambahkan pasukan tersebut sekarang sudah kocar-kacir. “Situasinya normal dan terkendali,” kata Lueth.
Beberapa hari terakhir negara baru pecahan Sudan itu menyaksikan bentrokan bersenjata antara pasukan pendukung Presiden Kiir dan pasukan pendukung Wapres Machar.
Sedikitnya 150 orang tewas dalam bentrokan hari Jumat lalu, sebelumnya kondisi akhirnya pulih pada hari Sabtu. Siaran lokal Radio Tamazuj hari Ahad melaporkan bahwa jumlah orang yang mati dalam bentrokan bersenjata itu kemungkinan mencapai 271.
Kabarnya, bentrokan hari Jumat itu disebabkan oleh baku-tembak antara pengawal Kiir dan Machar, yang terjadi tidak lama setelah kedua pemimpin Sudan Selatan itu bertemu.
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
Juli 2011 Sudan Selatan menjadi negara baru terpisah dari Sudan, setelah selama 20 tahun melancarkan perang gerilya melawan pemerintahan di Khartoum. Para pemberontak di bagian selatan Sudan, yang mayoritas dihuni oleh warga Kristen, merasa kekayaan alam di wilayah mereka dikuasai sepenuhnya oleh pemerintah pusat di Khartoum.
Namun, rupanya meskipun sudah merdeka orang-orang di Sudan Selatan sekarang justru berperang dengan sesamanya guna memperebutkan kekuasaan di negara muda yang banyak memiliki sumber minyak itu.*