Hidayatullah.com–Negara-negara Barat meninggalkan Turki diisolasi selama kudeta 15 Juli dan tidak menunjukkan cukup solidaritas, Presiden Recep Tayyip Erdogan mengatakan kepada harian Prancis Le Monde pada hari Senin, demikian kutip kantor berita Turki, Anadolu (8/8/2016).
“Dunia Barat bertentangan dengan nilai-nilai yang mereka bela. Mereka harus menunjukkan solidaritas mereka dengan Turki, yang telah sesuai dengan nilai-nilai demokrasi mereka. Sayangnya, mereka lebih suka untuk meninggalkan Turki terisolasi,” Erdogan menyampaikan.
Presiden Turki ini mengatakan bahwa negaranya tidak menghadapi “serangan teroris biasa” menambahkan bahwa 240 orang tewas dan hampir 2.200 terluka.
Erdogan mengatakan ia berharap para pemimpin dunia bereaksi dengan cara yang sama setelah serangan Charlie Hebdo pada tahun 2015 Januari “Perdana menteri kami bergabung dengan pawai di jalan-jalan Paris. Saya akan menyukai pemimpin dunia Barat bereaksi yang sama dengan apa yang terjadi di Turki dan tidak hanya puas dengan beberapa uangkapan klise untuk mengutuknya [upaya kudeta].
“Saya berharap mereka telah datang ke sini untuk Turki,” tambah Erdogan.
Pemimpin Turki ini juga mengkritik negara-negara Barat yang “mengkhawatirkan” tentang pejabat dan orang-orang dipecat dari pelayanan publik, ia menambahkan,”Daripada menunjukkan empati, para pemimpin Barat memiliki reaksi berlawanan.”
Ribuan orang telah ditangguhkan atau dipecat dari lembaga-lembaga publik Turki pasca kudeta 15 Juli, karena pemerintah mencoba untuk menemukan pendukung dan simpatisan dari plot kudeta.
Ia melanjutkan,”Kami sedang berjuang melawan upaya kudeta, melawan teroris. Dunia Barat harus memahami apa yang kita hadapi.”
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
Pemerintah Turki telah berulang kali mengatakan upaya kudeta diselenggarakan oleh pengikut Fetullah Gulen, yang telah tinggal di pengasingan di negara bagian AS dari Pennsylvania sejak tahun 1999.
Gulen dituduh memimpin kampanye yang telah lama berjalan untuk menggulingkan negara melalui infiltrasi lembaga Turki, khususnya militer, polisi dan peradilan, dan membentuk apa yang dikenal sebagai negara paralel.*