Hidayatullah.com—Sandy Phan-Gillis, wanita keturunan Tionghoa yang ditahan di China tahun lalu dikenai tuduhan spionse. Demikian menurut keterangan Kementerian Luar Negeri China seperti dilansir BBC hari Rabu (31/8/2016).
Wanita berusia 56 tahun itu pertama kali ditangkap pada Maret 2015 saat berada di China sebagai bagian dari delegasi Amerika Serikat.
Suaminya, Jeff Gillis, mengatakan tuduhan itu sama sekali palsu dan menyeru agar istrinya itu dibebaskan.
Phan-gillis, seorang pengusaha asal Texas keturunan Tionghoa dan telah menjadi warganegara AS lewat naturalisasi, pergi ke China untuk mempromosikan peluang bisnis di kota tempat tinggalnya sekarang, Houston.
Dia ditangkap aparat saat akan pergi ke Macau dari kota Zhuhai di bagian selatan China.
Pada Juni lalu, sebuah panel Perserikatan Bangsa-Bangsa menyatakan China melanggar HAM internasional dengan tidak memberikan wanita itu akses untuk mendapatkan penasihat hukum dan menahannya tanpa perintah pengadilan.
Kepada Reuters seorang pejabat Departemen Luar Negeri AS mengatakan bahwa negaranya “sangat khawatir” tentang Phan-Gillis dan “berulang kali menekan” otoritas China untuk lebih banyak memberikan informasi soal kasus yang menjerat perempuan itu.
Menurut pejabat AS tersebut, Konsulat AS di Guangzhou telah memberikan bantuan konsular kepada Phan-Gillis, termasuk kunjungan bulanan.
Menurut suaminya, Phan-Gillis dituduh pergi ke China dalam rangka misi spionase pada tahun 1996. Namun, paspornya menunjukkan bahwa dia tidak melakukan perjalanan ke negeri tirai bambu itu pada waktu yang dimaksud.
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
Phan-Gillis membantah telah melakukan kesalahan apapun dan mengatakan dirinya ditahan karena alasan politik dan bukan kriminal, menurut sebuah keterangan tertulis dari seorang pejabat konsular AS di China.
Kabar tuduhan spionase itu muncul menjelang kunjungan Presiden AS Barack Obama ke China untuk menghadiri pertemuan G20 di Hangzhou.
Hari Sabtu (3/9/2016) Obama dijadwalkan bertemu sejawatnya Xi Jinping di tengah perselisihan AS-China soal teritorial di Laut China Selatan dan peretasan siber.*