Hidayatullah.com—Memanjat gundukan batu pasir raksasa Uluru akan dilarang mulai Oktober 2019, demikian menurut pihak berwenang di Australia.
Melalui pemungutan suara, dewan pengurus Taman Nasional Uluru-Kata Tjuta sepakat bulat menyatakan aktivitas memanjat gundukan batu pasir berwarna merah itu harus diakhiri, karena sensitifitasnya bagi suku penduduk asli Australia.
Monolit merah berukuran sangat besar yang terletak di Northern Territory itu merupakan kawasan sakral bagi suku Aborigin Australia.
Penduduk setempat sejak lama meminta agar para pelancong tidak menaiki gundukan batu itu, yang dulu selama bertahun-tahun disebut sebagai Ayers Rock.
Papan-papan peringatan di lokasi awal pendakian meminta agar wisatawan tidak naik ke atas guna menghormati tradisi penduduk asli Australia dan hukum tradisional yang berlaku di kalangan orang Aborigin Anangu, pihak yang secara turun temurun menjadi penjaga dan pengurus kawasan itu.
“Tempat itu sangat penting sekali artinya, bukan tempat bermain atau theme park seperti Disneyland,” kata Sammy Wilson, ketua dewan Taman Nasional Uluru-Kata Tjuta yang juga keturunan suku Anangu, hari Rabu (1/11/2017) seperti dilansir BBC.
“Jika saya berkunjung ke negara lain dan di sana ada tempat sakral, sebuah kawasan dilarang masuk, saya tidak akan memasukinya atau menaikinya, saya akan menghormatinya,” imbuh Wilson, merujuk peraturan larangan masuk bagi orang umum di banyak tempat yang dianggap sakral.
Lebih lanjut Wilson mengatakan, orang-orang Anangu selama bertahun-tahun merasa terintimidasi membolehkan tempat sakral mereka bebas dipanjat para pelancong karena merupakan kawasan wisata terkenal.
Keputusan itu dibuat oleh dewan yang terdiri dari 8 pemilik tradisional kawasan Uluru dan 4 pejabat pemerintah.
Monolit yang termasuk dalam daftar warisan dunia UNESCO itu diserahkan kembali ke pemilik tradisionalnya pada tahun 1985. Larangan memanjat Uluru akan diberlakukan mulai 26 Oktober 2019, bertepatan dengan peringatan ke-34 tahun penyerahan itu.
Tourism Central Australia menyatakan mendukung keputusan tersebut, dengan menegaskan bahwa pelancong masih dapat mengunjungi banyak bagian lain di tempat itu tanpa melanggar tradisi yang berlaku.
Akan tetapi, tidak semua orang setuju dengan pemberlakuan larangan memanjat Uluru.
Tahun lalu menteri utama Northern Territory, Adam Giles, menyulut perdebatan dengan mengatakan bahwa ketentuan itu “konyol.”
“Kita harus menggali ide agar pemanjatan bisa dilakukan dalam kondisi keselamatan yang sangat ketat dan peraturan yang menegakkan penghormatan spiritual atas tempat itu,” kata Giles, seorang keturunan asli Aborigin.
Namun, faktanya kondisi cuaca dan faktor keselamatan yang menyebabkan aktivitas pemanjatan Uluru sering dinyatakan tertutup selama kurun 12 bulan terakhir. Sejak tahun 1950-an, sedikitnya 35 orang tewas di jalur pemanjatan Uluru.
Selain itu, larangan pemanjatan Uluru menjadi bagian dari rencana manajemen tahun 2010-2020, yang mengusulkan penutupan jika jumlah pengunjung menurun di bawah 20 persen dan aktivitas lain untuk para pelancong sudah berhasil diadakan. Hanya 16 persen pengunjung yang mendaki Uluru antara tahun 2011 sampai 2015, menurut data dewan.
Lebih dari 250.000 orang mengunjungi Uluru setiap tahunnya, menurut keterangan di website taman nasional itu.*