Hidayatullah.com—Setelah berkali-kali dikabarkan akan menandatangani kesepakatan damai, Presiden Sudan Selatan Salva Kiir dan mantan wakil presiden yang kemudian menjadi pemimpin pemberontak Riek Machar, hari Rabu (12/9/2018), akhirnya benar-benar menandatangani kesepakatan gencatan senjata.
Pada tahun 2013, hanya dua tahun setelah Sudan Selatan menjadi independen terpisah dari Sudan, negara baru itu terpuruk dalam perang saudara yang merenggut nyawa puluhan ribu orang dan menjadikan jutaan rakyat kehilangan tempat tinggal. Bukannya mengurus negara baru yang morat-marit akibat peperangan untuk memisahkan diri dari pemerintah pusat Sudan di Khartoum, para pemimpim Sudan Selatan justru saling berebut kekuasaan di negara yang kaya minyak tersebut.
Baca juga, Presiden Sudan Pecat Semua Menterinya
Perjanjian damai sebelumnya buyar pada tahun 2015 setelah berlangsung hanya setahun, akibat bentrokan bersenjata antara pasukan pemerintah dan pasukan pemberontak yang setia kepada bekas wakil presiden Riek Machar yang memaksanya melarikan diri dari ibukota Juba.
Kesepakatan gencatan senjata yang ditandatangani di sela-sela pertemuan tingkat tinggi regional di Ethiopia itu juga menetapkan bahwa Machar akan didudukkan kembali pada kursi wakil presiden, lapor DW.
Negara-negara Barat yang mengawasi kesepakatan damai itu; Norwegia, Inggris dan Amerika Serikat, sedikit optimistik perdamaian itu akan langgeng. Sebelumnya mereka pernah mengungkapkan skeptisisme bahwa Kiir dan Machar bukan jenis pemimpin atau tokoh yang bisa dipercaya untuk menjaga kesepakatan damai.
“Kami berharap diskusi akan tetap terbuka bagi pihak-pihak yang belum merasa yakin akan kelanggengan kesepakatan ini,” kata mereka dalam sebuah pernyataan. “Kita harus merengkuh memontum regional yang lebih luas ini guna memastikan perdamaian bagi rakyat Sudan Selatan,” imbuh mereka.*