Hidayatullah.com—Norwegia meminta maaf kepada para wanita dan keturunan mereka yang mengalami perlakuan buruk setelah Perang Dunia Kedua karena menjalin kasih atau memiliki anak dengan tentara pendudukan Jerman. Perdana Menteri Norwegia Erna Solberg mengatakan bahwa perlakuan buruk atas para wanita yang dijuluki “gadis Jerman” tersebut sungguh “memalukan.”
Solberg mengatakan diperkirakan 50.000 wanita Norwegia dijuluki “gadis Jerman” karena diduga memiliki hubungan intim dengan pasukan Nazi Jerman, yang mana “label buruk itu melekat pada diri mereka seumur hidupnya.”
Tujuh dekade kemudian, kebanyakan dari mereka sudah wafat. Setelah pembebasan Norwegia pada tahun 1945, “gadis-gadis Jerman” itu mendapatkan perlakuan buruk, seperti pemutusan hubungan kerja (PHK), penahanan oleh pihak berwajib, bahkan pengusiran dan pencabutan status warga negara.
“Bagi kebanyakan para wanita itu, ini hanyalah masalah percintaan remaja, bagi sebagian lain, itu merupakan cinta sejati mereka,” kata Solberg, hari Rabu (17/10/2018) seperti dilansir DW, seraya menegaskan bahwa perlakuan buruk terhadap para wanita itu melanggar prinsip dan tidak seorang pun warga Norwegia boleh dihukum di luar sistem pengadilan.
Permintaan maaf yang diutarakan PM Solberg itu bertepatan dengan peringatan ke-70 tahun Deklarasi Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Norwegia yang bersikap netral di era Perang Dunia II, diduduki sejak April 1940 oleh lebih dari 300.000 tentara Nazi Jerman.
Pimpinan SS (tentara Nazi) Heinrich Himmler mendorong para prajuritnya agar beranak-pinak dengan wanita-wanita lokal. Kebijakan itu merupakan bagian dari agenda supremasi kulit putih yang diusung Nazi, yang juga menjadi dasar pedirian pusat reproduksi “Lebensborn” di Norwegia pada 1941.
Pada tahun 2000, negara Norwegia secara formal mengajukan permohonan maaf kepada sekitar 10.000 sampai 12.000 anak yang juga mengalami perlakuan buruk disebabkan ibu mereka menjalin hubungan dengan serdadu Jerman.
Banyak dari anak-anak itu yang kemudian dititipkan di keluarga asuh atau institusi-institusi khusus dan kemudian berusaha mencari keadilan dan kompensasi.
Reifar Gabler, putra seorang wanita Norwegia yang diusir pada tahun 1945 bersama suaminya yang orang Jerman, mengatakan kepada koran terkemuka Aftenposten bahwa permohonan maaf yang disampaikan oleh PM Solberg itu terlambat. Namun demikian, menurut Gabler permintaan maaf itu “penting bagi sejarah.”*