Hidayatullah.com–Pemerintah Singapura hari Selasa, (20/11/2018) mengumumkan pelarangan tiga buku agama Islam karena dinilai mengandung “pandangan eksklusif atau ekstremis yang mempromosikan permusuhan di antara komunitas agama yang lain”.
Menurut Kementerian Komunikasi dan Informasi (MCI) dua buku itu juga mendorong perpecahan antara masyarakat Muslim di tempat itu.
Ajaran dan ideologi dalam buku-buku ini “merusak hubungan harmonis dan etnis dan rasial di Singapura” dan telah diklasifikasikan sebagai publikasi yang dilarang di bawah Undang-Undang Penerbitan yang Tidak Diinginkan.
“Pemerintah Singapura tidak memiliki toleransi terhadap individu atau publikasi yang ditujukan untuk menghasut permusuhan atau kekerasan di antara kelompok agama yang berbeda, dan karena itu telah memutuskan untuk melarang publikasi ini,” laporan media MCI dikutip media setempat.
Baca: Pernah Larang Ucapan Natal, Yusuf Estes Ditolak Masuk Singapura
Sikap MUIS
Dalam sebuah pernyataan terpisah, Dewan Agama Islam Singapura (MUIS) menjelaskan bahwa mereka telah melakukan penilaian komprehensif dari tiga buku yang diterbitkan antara tahun 2000 dan 2013.
Menurutnya, ketiga buku itu “menganjurkan pandangan yang bermasalah dan ekstrem” dan “mempromosikan budaya kekerasan”.
Publikasi ini ditemukan untuk mempromosikan ide-ide berbahaya yang beredar luas di kalangan radikal, katanya.
Ini, menurut MUIS, bertentangan dengan pemahaman damai, sederhana dan sederhana dan praktek Islam dalam konteks masyarakat multikultural, dan berbahaya bagi kehidupan Singapura.
Di antara buku yang dilarang adalah bnuku berjudul “Things That Nullify One’s Islaam“, yang ditulis oleh Syeikh Muhammad bin ‘Abdil-Wahab dan diterbitkan di Toronto, Kanada pada tahun 2013.
Menurut MUIS, isi dari publikasi “mempromosikan kebencian dan permusuhan terhadap non-Muslim”.
Para penulisnya juga telah mengantisipasi bahwa seorang Muslim akan dianggap murtad jika dia membantu atau menyatakan cintanya kepada non-Muslim.
Buku kedua berjudul “What Islam is All About” oleh Yahiya Emerick, buku teks siswa yang diterbitkan di Kuala Lumpur Malaysia.
Para pengarangnya antara lain menyarankan pentingnya mendirikan negara Islam dan menuduh para pemimpin Islam sebagai “orang munafik dan budak bagi orang Kristen”.
Pandangan seperti itu, secara tegas MUIS, mampu membangkitkan kebencian dan permusuhan terhadap dunia Barat di kalangan pembaca.
Baca: Singapura Luncurkan Kartu Embakarsi Elektronik untuk Pendatang Asing
Buku Jihad
Publikasi ketiga, berjudul “The Wisdom of Jihad” oleh Abuhuraira Abdurrahman diterbitkan dalam Jahabersa Business di Johor Bahru, Malaysia pada tahun 2000.
Dalam tulisan-tulisannya, penulis mendesak umat Islam untuk meluncurkan jihad bersenjata melawan non-Muslim dan Muslim yang tidak sejalan dengan pandangannya tentang jihad.
Larangan terhadap buku-buku itu mulai berlaku hari Selasa dan publik diminta menyerahkan ke polisi jika menemukan bahan-bahan semacam itu.
Tahun 2017, Kementerian Dalam Negeri Singapuran (MAH) telah melarang pendakwah asal Amerika Serikat (AS) Yusuf Estes memasuki negeri tersebut.
Baca: Pernah Larang Ucapan Natal, Yusuf Estes Ditolak Masuk Singapura
Menurut laporan Channel NewsAsia, Yusuf ditolak memasuki negeri itu pada 24 November 2017 menyusul pandangan Yusuf yang dianggap bertentangan dengan nilai-nilai komunitas multiras dan religius di negara ini.
Kementerian Dalam Negeri Singapura menyebut, pandangan Yusuf Estes yang dirilis dalam video bulan Maret 2012 pernah mengatakan bahwa “bukan bagian dari Islam orang merayakan hari raya orang lain (Natal)” termasuk bukan bagian dalam iman Islam untuk merayakan agama orang Kristen dan Yahudi “Selamat Natal” dan “Selamat Hanukkah”.
Kementerian itu juga menegaskan bahwa artikel yang diterbitkan di laman pribadi Estes tahun 2016 yang mempersoalkan asas agama Kristen juga sebagai alasan pelarangan memasuki negara itu.
Singapura beberapa tahun belakangan ini dikenal sangat paranoid terhadap hal berbau Islam.
Singapura, dulunya Negeri Melayu yang kini populasinya telah didominasi etnis China. Berdasarkan catatan, penduduk asli pada Singapura kini hanya 13.4%. Sementara etnis China (yang semula adalah pendatang) kini menjadi mayoritas lebih kurang 74.1% penduduk.*