Hidayatullah.com–Ratusan pelayat hari Rabu, 20 Maret 2019, berkumpul di komplek pemakaman di dekat Linwood Islamic Centre di Christchurch, salah satu dari dua tempat ibadah yang sasaran serangan teroris yang menewaskan 50 jemaah shalat Jumat.
Suasana duka menyelimuti Memorial Park di Christchurch, Selandia Baru, ketika enam jenazah mulai dimakamkan dikuburkan dekat Masjid Linwood sejauh ini. Termasuk pengungsi Suriah, Khalid Mustafa (44), dan Hamza yang berusia 15 tahun.
Junaidi Ismail (36), Ashraf Ali dan dua korban lagi namanya tak dikenal juga dimakamkan dalam acara tersebut dengan ditemani oleh banyak penyunjung untuk membantu membawa dan mengubur jenazah ke tempat peristirahatan perakhir.
Putra Khalid, yang terluka dalam insiden itu, Zaid (13), juga duduk kursi roda dan melakukan doa untuk almarhum ayah dan saudara lelakinya.
“Aku tidak seharusnya berdiri di depanmu, aku seharusnya berbaring di sebelahmu,” kata Zaid di makam ayah dan kakaknya.
Baca: ‘Khilafah Utsmani dan Perang Salib’, Pesan Teror Brenton Tarrant
Pelayat berbaris untuk membantu mengisi liang lahat dengan tanah menggunakan tangan mereka setelah jenazah korban diletakkan untuk beristirahat. Orang-orang diminta untuk tidak menggunakan sekop untuk memastikan semua orang mendapat bagiannya.
Pelayat menggambarkan kesedihan emosional yang dialami oleh semua orang di upacara hari Rabu (20/3).
“Semua orang berduka dengan cara yang tidak bisa kami jelaskan,” Gulshad Ali, yang melakukan perjalanan dari Auckland untuk menghadiri pemakaman itu, mengatakan kepada Aljazeera. “Saya merasa hancur, secara emosional saya terguncang melihat jenazah-jenazah dimakamkan.”
Imam Mohamed Aljibaly dari Pusat Islam Australia, mengatakan, keluarga itu melarikan diri dari perang delapan tahun yang berlarut-larut di Suriah, tetapi akhirnya mereka terbunuh di negara teraman di dunia.
“Mereka adalah ayah dan anak, saudara lelaki Suriah yang lolos dari perang dan pembunuhan yang terjadi setiap hari tetapi terbunuh di Selandia Baru yang dianggap sebagai rumah baru,” katanya dikutip AFP.

“Ada ayah dan anak. Dia adalah saudara kami dari Suriah dan dia melarikan diri dari apa yang terjadi di Suriah setiap hari, dan pembantaian yang terjadi di sana hampir setiap hari, hanya untuk meninggal di Selandia Baru, tempat yang dia anggap sebagai rumah barunya karena dia adalah seorang pengungsi,” kata Aljibaly.
Baca: Teror Masjid Selandia Baru Akibat Usaha Adu Domba Antar Agama
Perdana Menteri Ardern mengatakan dia sangat sedih mendengar berita bahwa keluarga Mustafa dari Suriah telah terbunuh di peristiwa “mengerikan” yang terjadi hari Jumat (15/3).
“Saya tidak bisa mejelaskan sulitnya mengetahui bahwa ada keluarga yang datang ke sini untuk mendapatkan keselamatan dan perlindungan, dan mereka seharusnya aman di sini … Ini adalah rumah mereka,” kata Ardern kepada Aljazeera saat konferensi pers di kantor polisi Christchurch Central.
Pemimpin Selandia Baru itu sebelumnya mengunjungi SMA Cashmere Christchurch, tempat Hamza belajar.
“Saya mendengar kesedihan mereka, (dan) saya turut merasakannya,” katanya.
Sementara itu, polisi dalam sebuah pernyataan mengatakan pihak berwenang telah mengidentifikasi 27 mayat dan akan menyerahkannya kepada keluarga mereka hari ini.
Baca: Dubes Australia: Teror di Selandia Baru Bertentangan dengan Agama
Kegagalan pihak berwenang untuk mempercepat proses mengidentifikasi mereka yang telah meninggal semakin menambah kesedihan masyarakat, terutama keluarga para korban.
Kepolisian Selandia Baru pada Rabu menyebutkan identitas enam korban penembakan di Masjid An Noor.
Pimpinan kepolisian sermpat, Komisaris Mike Bush mengatakan 21 mayat telah selesai diidentifikasi dan sudah diserahkan kepada keluarga. Pemeriksaan post-mortem terhadap 50 jenazah sudah selesai, kata polisi.
Tetapi beberapa keluarga menyatakan frustrasi dengan proses identifikasi yang beberapa kali tertunda. Mohamed Safi, 23 tahun, yang ayahnya Matiullah Safi meninggal akibat serangan di Masjid Al Noor, mengeluhkan kurangnya informasi.
Dia mengatakan kepada kantor berita AFP: “Mereka hanya mengatakan bahwa mereka sedang melakukan prosedur mereka … Mengapa saya tidak tahu apa yang dilakukan mereka dalam mengidentifikasi jenazah?”
Baca: [Update] 50 Orang Meninggal Korban Teror di Masjid Selandia Baru
Imigran
Dalam sebuah pernyataan pada Selasa, polisi mengatakan: “[Kami] sangat menyadari frustrasi oleh keluarga dengan lamanya waktu yang diperlukan untuk proses identifikasi setelah serangan teror Jumat.
“Kami melakukan semua yang kami bisa lakukan, dan secepat mungkin kami akan menyerahkan jenazah korban kepada orang-orang yang mencintainya,” ujarnya dikutip BBC.
Layanan imigrasi Selandia Baru mengatakan terus dan akan memproses visa bagi keluarga para korban yang ingin datang dari luar negeri untuk menghadiri pemakaman.
Perdana Menteri (PM) Selandia Baru Jacinda Ardern menyerukan perjuangan global untuk membasmi ideologi rasis sayap kanan menyusul serangan mematikan pekan lalu di dua masjid di Kota Christchurch.
Baca: Selandia Baru: Serangan di masjid adalah momen dampak atas politik kejahatan
Dalam salah-satu wawancara pertamanya sejak tragedi itu, dia mengatakan kepada BBC bahwa dia menolak gagasan yang menyebut bahwa kehadiran migran telah memicu rasisme.
“Tapi saya akan menyerukan perjuangan global,” tambahnya.
“Apa yang terjadi di Selandia Baru adalah kekerasan yang dibawa oleh seseorang yang tumbuh dan belajar ideologinya di tempat lain.
“Jika kita ingin memastikan secara global bahwa kita adalah dunia yang aman dan toleran serta inklusif kita tidak dapat memikirkan hal ini dalam konteks perbatasan.”
Dia membela kebijakan negaranya yang menerima pengungsi, dengan mengatakan: “Kami adalah negara yang ramah,” katanya kepada BBC.*