Hidayatullah.com—Mahkamah Agung Amerika Serikat memutuskan bahwa seorang terpidan mati yang sedang menanti eksekusi di negara bagian Missouri tidak berhak akan “kematian tak menyakitkan”.
Keputusan itu memberikan lampu hijau eksekusi atas terpidana Russell Bucklew, yang meminta agar dieksekusi dengan gas dan bukan dengan suntikan mematikan, dengan alasan kondisi medis yang dialaminya. Keputusan diambil majelis hakim dengan suara 5 lawan 4, lansir BBC.
Bucklew, 50, berargumen bahwa metode eksekusi di Missouri menimbulkan “hukuman yang kejam dan tidak biasa” yang secara legal terlarang.
Pria itu divonis hukuman mati pada 1996 setelah dituduh melakukan pemerkosaan, pembunuhan dan penculikan ketika melakukan serangan terhadap bekas pacarnya dan kekasih barunya beserta putranya yang berusia 6 tahun.
Dalam gugatannya ke pengadilan, Bucklew berdalih bahwa kondisi bawaannya, tumor jinak cavernous hemangioma, kemungkinan akan mengakibatkan dirinya sangat kesakitan apabila dieksekusi dengan cara suntik cairan pentobarbital. Kondisi itu, menurut pendapat Bucklew, akan menyebabkan tumor berisi darah di tenggorokan, leher dan wajahnya pecah akibat rasa sakit luar biasa yang kemungkinan akan dialaminya dan menyebabkan dirinya tercekik kesulitan bernapas.
Namun, lima hakim konservatif di Mahkamah Agung AS hari Senin (1/4/2019) tidak sependapat dengannya dan mengatakan gugatan itu hanya taktik terpidana untuk mengulur waktu. Selain itu, hakim berpendapat terpidana tidak mampu menghadirkan bukti-bukti bahwa dia tidak akan merasakan kesakitan yang amat sangat apabila dieksekusi dengan cara lain, yang mana bukti itu merupakan kewajiban yang harus dihadirkannya di pengadilan.
Empat hakim liberal berpendapat Bucklow seharusnya diberikan pilihan cara lain untuk eksekusinya, seperti dengan gas nitrogen, yang diperbolehkan di tiga negara bagian di Amerika Serikat.*