Hidayatullah.com—Tiga puluh sembilan negara anggota PBB pada Selasa (06/10/2020) menuntut China memberikan akses “segera” ke pengamat hak independen terhadap wilayah Xinjiang barat. Pengamat dibutuhkan untuk menyelidiki perlakuan China terhadap etnis Muslim di wilayah otonom tersebut, Anadolu Agency melaporkan.
Duta Besar Jerman Christoph Heusgen menyuarakan keprihatinan besar tentang situasi hak asasi manusia di Xinjiang dan perkembangan terkini di Hong Kong.
“Kami menyerukan kepada China untuk mengizinkan akses langsung, bermakna dan tidak terbatas ke Xinjiang bagi pengamat independen termasuk Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia dan Kantornya, dan pemegang mandat prosedur khusus yang relevan,” kata Heusgen, mengacu pada Michelle Bachelet.
Wilayah itu adalah rumah bagi 10 juta penduduk Muslim Uyghur. Kelompok Muslim Turki, yang membentuk sekitar 45% dari populasi Xinjiang itu, telah lama menerima diskriminasi budaya, agama dan ekonomi oleh otoritas China.
Lebih dari 1 juta orang, atau sekitar 7% dari populasi Muslim di Xinjiang, telah ditahan dalam jaringan kamp “pendidikan ulang politik” yang meluas, menurut pejabat AS dan pakar PBB.
Heusgen mengutip “peningkatan jumlah laporan” tentang pelanggaran HAM berat dan pembatasan berat atas kebebasan beragama dan berkeyakinan di wilayah tersebut.
“Pengawasan yang meluas secara tidak proporsional terus menargetkan Uyghur dan minoritas lainnya dan lebih banyak laporan bermunculan tentang kerja paksa dan pengendalian kelahiran paksa termasuk sterilisasi,” kata utusan Jerman itu, menggunakan ejaan lain untuk kelompok etnis tersebut.
Di Hong Kong, anggota PBB, yang meliputi AS, Inggris, Swiss, Kanada, Jepang, Norwegia dan lainnya, mendesak otoritas terkait untuk menjamin hak-hak yang dilindungi di bawah Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik dan Deklarasi Bersama Sino-Inggris, termasuk kebebasan berbicara, pers dan berkumpul.
“Kami juga menyerukan kepada China untuk menegakkan otonomi, hak dan kebebasan di Hong Kong, dan untuk menghormati kemerdekaan peradilan Hong Kong,” tambahnya.*