Hidayatullah.com–Otoritas Mesir mengeksekusi 49 orang antara 3 hingga 13 Oktober, menurut laporan yang dirilis oleh Human Rights Watch, dilansir oleh Middle East Eye.
Menurut laporan tersebut, 15 laki-laki dieksekusi karena diduga terlibat dalam kasus kekerasan politik, dan 32 laki-laki serta dua perempuan lainnya telah dihukum dalam kasus pidana.
Organisasi internasional menyatakan bahwa 15 orang dieksekusi pada 3 Oktober saja.
Sepuluh dari mereka yang dieksekusi telah dihukum dalam kasus Ajnad Misr (Prajurit Mesir), di mana pihak berwenang menuduh terdakwa terlibat dalam serangan bersenjata oleh Ajnad Misr, sebuah kelompok yang mengaku bertanggung jawab atas beberapa serangan yang terjadi di Giza Selatan pada tahun 2014 dan 2015.
Tiga dari eksekusi tersebut terkait dengan kasus Kerdasa, di mana Mayor Jenderal Nabil Farag, seorang pejabat senior kementerian dalam negeri, ditembak mati oleh orang-orang bersenjata selama serangan keamanan di kota Kerdasa pada September 2013 setelah bentrokan meletus pasca penggulingan Presiden Muhammad Mursi.
Dua dari eksekusi tersebut terkait dengan kasus East Alexandria tahun 2013, di mana pihak berwenang mendakwa 71 orang menyusul protes kekerasan di dekat perpustakaan, di mana 16 orang tewas.
Pada 13 Oktober, laporan di media Mesir juga menerbitkan nama delapan tahanan yang telah dieksekusi di penjara dengan keamanan maksimum di Gubernuran Minya, selatan Kairo.
Media pro-pemerintah menyatakan bahwa 11 eksekusi dilakukan pada 6 Oktober, di Penjara Istinaf Kairo.
Laporan juga menyebutkan bahwa delapan tahanan telah dieksekusi pada 3 Oktober dan tujuh lainnya pada 8 Oktober, terkait dengan kasus pemerkosaan dan pembunuhan.
‘Memalukan’
Seorang juru bicara We Record, sebuah organisasi yang melacak dan mendokumentasikan hukuman mati di Mesir, mengatakan kepada MEE awal bulan ini bahwa eksekusi tersebut “melanggar hukum”, karena sebagian besar tahanan telah menjadi sasaran penghilangan paksa dan penyiksaan sebelum mereka dihukum.
Joe Stork, wakil direktur Timur Tengah dan Afrika Utara di Human Rights Watch, menyebut eksekusi dan pengadilan itu sebagai pelanggaran hak untuk hidup.
“Eksekusi massal Mesir terhadap banyak orang dalam hitungan hari sangat memalukan … tidak adanya pengadilan yang adil secara sistematis di Mesir, terutama dalam kasus politik, membuat setiap hukuman mati sebagai pelanggaran hak untuk hidup.”
Laporan tersebut juga menyatakan bahwa di bawah Presiden Mesir Abdel Fattah As-Sisi, Mesir telah menjadi salah satu dari 10 negara teratas di dunia untuk eksekusi dan hukuman mati.
“Mereka yang ditangkap karena tuduhan kekerasan politik sering menghadapi sejumlah pelanggaran termasuk penghilangan paksa, penyiksaan untuk mendapatkan pengakuan dan tidak ada akses ke pengacara,” kata laporan itu.
Awal pekan ini, lebih dari 200 anggota parlemen Eropa mengirim surat kepada Sisi, secara terbuka mengecam pelanggaran hak asasi manusia yang terus-menerus dilakukan pemerintahnya sebagai ancaman bagi keamanan dan stabilitas negara.
Surat tersebut, yang salinannya dikirim ke Middle East Eye, juga mendesak Sisi untuk membebaskan para pembela hak asasi manusia yang ditahan dalam penahanan pra-sidang, terutama dengan risiko kesehatan yang terkait dengan pandemi Covid-19.
Human Rights Watch telah berulang kali menyerukan pihak berwenang untuk menghentikan eksekusi dan pengadilan yang tidak adil, di mana mereka mengatakan pihak berwenang secara rutin mengumpulkan kelompok-kelompok terdakwa tanpa pembenaran, dan melaksanakan pengadilan massal di mana orang-orang tidak memiliki cukup waktu untuk mengajukan pembelaan.
Kelompok hak asasi manusia memperkirakan bahwa ada sekitar 60.000 tahanan politik di Mesir, termasuk jurnalis, blogger, pembangkang politik, pengacara, dan aktivis.*