Hidayatullah.com–Sekitar 300.000 orang diperkirakan akan meninggalkan Hong Kong menuju Inggris dengan menggunakan cara pengurusan visa baru yang akan dibuka mulai hari Ahad (31/1/2021).
Pemegang paspor British National Overseas (BNO) yang berada di Hong Kong dan orang-orang yang dalam tanggungannya langsung akan dapat mengurus visa dengan menggunakan aplikasi ponsel.
Sekitar 7 ribu orang dari Hong Kong sudah diperbolehkan tinggal di Inggris sejak Juli tahun lalu, kata Kementerian Dalam Negeri Inggris seperti dilansir BBC.
Kementerian Luar Negeri China mengatakan mulai 31 Januari pihaknya tidak lagi mengakui paspor BNO sebagai dokumen perjalanan.
Paspor BNO juga tidak lagi diakui sebagai bukti identitas, kata China, dan pihaknya berhak mengambil tindakan lebih lanjut berkaitan dengan hal itu.
Visa khusus itu diumumkan Inggris pada bulan Juli setelah China memberlakukan undang-undang keamanan baru di wilayah bekas koloni Inggris tersebut.
Beijing berkali-kali memperingatkan Inggris agar tidak lagi ikut campur dalam urusan yang berkaitan dengan wilayahnya tersebut.
Para pemohon dan pemegang visa ituakan diperbolehkan mengajukan izin menetap setelah lima tahun dan setelahnya 12 bulan kemudian bisa mengajukan status kewarganegaraan Inggris.
Meskipun ada 2,9 juta warga di Hong Kong yang bisa pindah ke Inggris, berikut 2,3 juta orang yang berada di bawah tanggungannya, pemerintah Inggris memperkirakan sekitar 300.000 orang yang akan menggunakan kesempatan tersebut kurun lima tahun pertama.
Pemohon visa untuk tinggal selama 5 tahun akan dikenai biaya £250 per orang –atau £180 untuk masa tinggal 30 hari– dan ada tambahan biaya kesehatan imigrasi sampai £624 setahun.
Status BNO dibuat sebelum Inggris mengembalikan wilayah Hong Kong ke China pada tahun 1997.
Sebelum Hong Kong dikembalikan, China dan Inggris membuat kesepakatan “satu negara dua sistem” yang tujuan utamanya adalah agar potensi bisnis Hong Kong yang sudah puluhan tahun dikenal sebagai pusat keuangan Asia tidak lenyap begitu saja. Dalam kesepakatan itu wilayah otonomi itu diberi sejumlah kebebasan layaknya negara di Barat. Kesepakatan yang diteken tahun 1984 itu dirancang untuk berlaku hingga 2047.
Namun, kesepakatan yang dikenal sebagai Joint Declaration itu terancam tidak lagi dapat diterapkan setelah China semakin mencengkramkan cakar kekuasaannya di kota pusat bisnis tersebut.*