Hidayatullah.com — Syeikh Ali Amini, seorang ulama Republik Demokratik (RD) Kongo, dibunuh di masjid.
Ulama senior itu dibunuh ketika beliau sedang melaksanakan shalat maghrib pada Sabtu (01/05/2021) di masjid kota Beni, RD Kongo timur.
Dia merupakan pengkritik keras ekstrimisme di wilayah tersebut, lapor kantor berita Reuters.
Kongo Timur telah dilanda ketidakstabilan yang parah, termasuk serangan yang diklaim oleh kelompok ISIS atau Daesh.
Banyak kelompok bersenjata beroperasi di Republik Demokratik Kongo timur, warisan konflik yang mencengkeram wilayah itu pada 1990-an.
Editor BBC World Service Afrika Will Ross mengatakan pembunuhan Syeikh Ali Amini selama bulan suci Ramadhan mengejutkan banyak orang di Beni, sebuah kota dengan populasi sekitar 200.000.
Seorang aktivis hak asasi manusia terkemuka di kota itu, Stewart Muhindo, mengatakan ini adalah pembunuhan pertama di kota tersebut.
“Itu terjadi pada pukul 19:15 saat shalat Maghrib. Tembakan ke dalam masjid mengenai imam. Pria bersenjata itu melarikan diri karena kaki tangannya di luar masjid menunggu dengan membawa sepeda motor,” kata Muhindo kepada BBC.
Meskipun tidak jelas siapa yang berada di balik serangan itu, sebagian besar kekerasan di daerah itu dilakukan oleh kelompok pemberontak, Allied Democratic Forces (ADF), kata wartawan BBC.
Daesh telah mengakui beberapa serangan ADF, tetapi tidak jelas seberapa kuat hubungan antara kedua kelompok tersebut.
ADF dibentuk lebih dari 20 tahun lalu di negara tetangga Uganda untuk melawan dugaan diskriminasi terhadap Muslim. Kelompok itu pindah ke RD Kongo timur setelah diusir dari basisnya oleh militer Uganda.
Kelompok tersebut telah meningkatkan serangan terhadap warga sipil sejak tentara RD Kongo melancarkan serangan terhadapnya pada Oktober 2019.
Hampir 200 orang telah tewas oleh ADF sejak Januari, kata PBB.
Sementara itu, kelompok hak asasi manusia setempat telah menyatakan keprihatinannya tentang keputusan Presiden Félix Tshisekedi untuk mendeklarasikan “keadaan pengepungan” di Kivu Utara dan Ituri, dua provinsi di RD Kongo timur yang paling parah terkena dampak ketidakstabilan.
Mereka khawatir tentang kekuatan tambahan yang diberikan kepada militer, yang telah berulang kali dituduh melakukan pelanggaran hak asasi manusia.
Juru bicara pemerintah Patrick Muyaya membela keputusan itu, dengan mengatakan: “Tujuannya adalah untuk segera mengakhiri ketidakamanan yang membunuh sesama warga kita di bagian negara itu setiap hari.”
Lebih dari 2.000 warga sipil tewas oleh kelompok bersenjata di RD Kongo timur tahun lalu, menurut PBB.*