Hidayatullah.com–Militer Myanmar mengklaim bahwa “kelompok etnis bersenjata” telah menunda proses pembicaraan damai dengan melanjutkan serangan terhadap negara itu.
Dalam putaran ketiga pembicaraan damai yang berlangsung di Naypyidaw hari Rabu ini, Panglima Myanmar, Min Aung Hlaing, mengklaim bahwa kelompok ‘etnis bersenjata’ bertanggung jawab atas pencemaran nama baik.
“Saya mendorong Anda untuk menentang semua konflik bersenjata yang mengancam perkembangan negara ini,” kata Aung Hlaing dikutip AFP.
Menurut data Myanmar Peace Monitor ada 18 kelompok bersenjata di Myanmar.
14 di antaranya saat ini berkomitmen untuk melakukan gencatan senjata. Sementara 4 lainnya masih melangsungkan pertempuran, yakni Arakan Army (di Rakhine yang dihuni Rohingya), Kachin Independence Organization, Palaung State Liberation Front, dan Myanmar National Truth and Justice Party.
Baca: Myanmar Menolak Penyelidikan PBB terkait Kejahatan terhadap Etnis Rohingya
Kekerasan berdarah dan konflik internal di Myanmar berlangsung puluhan tahun tanpa terlihat penyelesaiannya hingga kini.
Arakan Rohingya Salvation Army/Tentara Solidaritas Rohingya Arakan (ARSA), yang sebelumnya dikenal sebagai Harakah al-Yaqin, pertama kali tampil pada Oktober 2016 ketika kelompok itu menyerang tiga pos polisi di Maungdaw dan Rathedaung, membunuh sembilan petugas polisi.
Maung Zarni, seorang anggota non-residen di Pusat Studi Ekstrimisme Eropa, mengatakan pada Aljazeera ARSA bukan teror layaknya ISIS, ia hanya aksi segelintir kelompok untuk bertahan dari “perlakuan kejam sistematis dengan ukuran genosida” oleh militer Myanmar.
“Itu bukanlah sebuah kelompok teroris yang bertujuan menyerang ke jantung masyarakat Myanmar seperti yang diklaim oleh pemerintah Myanmar,” kata Zarni.
“Mereka ialah sekelompok lelaki putus asa yang memutuskan untuk membentuk semacam kelompok pertahanan diri dan melindungi rakyat mereka yang hidup dalam kondisi yang mirip dengan kamp konsentrasi Nazi,” dia menambahkan.
Baca: PBB Tepis Laporan Temuan Komisi Penyelidikan versi Myanmar Soal Rohingya
Hal ini dibuktikan dalam pernyataan video berdurasi 18 menit yang dikeluarkan pada Oktober lalu oleh kelompok itu. Dimana Ataullah Abu Amar Jununi, pemimpin ARSA, memberikan pembelaan terkait serangan itu, menyalahkan tentara Myanmar yang memicu kekerasan.
“Selama 75 tahun telah terjadi berbagai kejahatan kekejaman yang dilakukan terhadap Rohingya … itulah mengapa kami melakukan serangan pada 9 Oktober 2016 – untuk mengirim pesan bahwa jika kekerasan tidak dihentikan, kami mempunyai hak untuk membela diri kami,” katanya dikutip Aljazeera.
ARSA adalah gerakan bertahan sebagai pilihan terakhir kekerasan yang dilakukan militer Myanmar terhadap etnis Muslim Rohingya.
Namun pada 25 Agustus 2017, aksi ARSA menyerang 30 polisi dan markas tentara, dibalas secara masif militer Myanmar, dalam sebuah ‘operasi pembersihan etnis’ yang memaksa sekitar 650 ribu warga Rohingya mengungsi ke Bangladesh.
Militer Myanmar belum lama ini menghalang-halangi Yanghee Lee, pelapor khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk hak asasi manusia di Myanmar (Burma) dalam melakukan investigasi dan pencarian fakta.
Penolakan untuk bekerja sama ini merupakan langkah terakhir Burma dalam usahanya untuk menyembunyikan kejahatan militer terhadap kemanusiaan, termasuk pembunuhan, pemerkosaan, dan pembakaran massal, terhadap populasi etnis Rohingya di Negara Bagian Rakhine.*