Hidayatullah.com—Pemerintah Filipina telah mengumumkan akan menunda pemilihan umum yang dapat mengakhiri puluhan tahun pertumpahan darah antara faksi-faksi Muslim yang bertikai. Pemilu yang seharusnya menentukan pemberian otonomi untuk pemerintahan sendiri di wilayah Islam yang bergolak itu ditunda dengan alasan pandemi dan proses perdamaian yang mandek.
Pemungutan suara adalah ketentuan utama dalam kesepakatan damai 2014, yang bertujuan untuk mengakhiri konflik yang diperkirakan telah merenggut 150.000 nyawa, yang seharusnya berlangsung Mei mendatang di Daerah Otonomi Bangsamoro di Mindanao.
Namun, mantan pemberontak dari kelompok Front Pembebasan Islam Moro (MILF), yang ditunjuk untuk memimpin pemerintahan transisi, mengatakan mereka membutuhkan lebih banyak waktu.Ini untuk memungkinkan pemilihan legislatif lokal berlanjut dan sebagai gantinya pemungutan suara otonom akan diadakan pada tahun 2025.
“Presiden Rodrigo Duterte menandatangani … (RUU) kemarin untuk mengatur ulang pemilihan di Daerah Otonomi Bangsamoro di Mindanao menjadi 2025,” kata juru bicara kepresidenan Harry Roque kepada wartawan dikutip AFP.
Dia mengatakan undang-undang tersebut memberi Duterte kekuatan untuk menunjuk 80 anggota otoritas transisi yang masa jabatannya akan berakhir dengan pemilihan 2025. Mantan pemberontak MILF memperingatkan kegagalan proses perdamaian dapat menarik pemuda Muslim yang frustrasi di wilayah tersebut untuk bergabung dengan lebih banyak kelompok Muslim garis keras yang masih meluncurkan kampanye bersenjata di Filipina selatan.
Georgi Engelbrecht, seorang analis senior untuk pengawas perdamaian International Crisis Group yang berbasis di Brussels, bulan lalu mengatakan kepada AFP bahwa penundaan itu harus dilakukan.
“Ini karena pandemi dan ketidakmampuan pemerintah transisi untuk menyusun undang-undang pemilu membuat mereka memiliki pilihan terbatas, sehingga harus menunda jajak pendapat publik untuk kekuasaan otonom,” katanya. “Perpanjangan ini bukan solusi yang paling sempurna, melainkan awal,” katanya.
Sebuah laporan pemantauan April lalu memperingatkan proses mendiskualifikasi 40.000 pejuang MILF adalah ‘percikan’ menunggu ‘ledakan’ dengan hanya di bawah sepertiga meletakkan senjata mereka.*