Hidayatullah.com — Ratusan mayat teroris Daesh atau ISIS yang terbunuh dalam pertempuran bertahun lalu membusuk di lemari pendingin makanan di luar kota Libya. Pihak berwenang masih tidak tahu apa yang harus dilakukan dengan mayat-mayat tersebut.
Tersimpan di sebuah kompleks Misrata, 742 mayat yang dikumpulkan oleh pemerintah Libya yang diakui international pada tahun 2016 dari medan perang dan kuburan ilegal sedang membusuk. Diantara pihak berwenang belum disepakati tentang bagaimana dan di mana mereka harus dimakamkan.
Sementara konflik Libya terus bergemuruh, medan perang bergeser, pemerintah berubah dan krisis keuangan datang dan pergi. Mayat-mayat itu mulai membusuk karena aliran listrik ke lemari pendingin terputus.
Itu membuat kompleks, yang dikelola polisi dan dikelilingi pagar serta kamera keamanan, berbau busuk. Gulma tumbuh di antara kontainer dan tenda forensik yang ditinggalkan berdiri di bawah terik matahari.
“Pemutusan listrik untuk waktu yang lama membuat situasi, bau busuk, semakin buruk,” kata Salah Ahmed, salah satu polisi yang menjaga kompleks tersebut.
Masalah identifikasi
Awalnya mayat petempur ISIS dikumpulkan untuk identifikasi dan penguburan yang layak. Bahkan mayat yang telah diidentifikasi tetap tidak diambil oleh negara asal atau anggota keluarga mereka.
Dilansir TRT World pada Kamis (14/01/2022), mereka menyerahkan kepada pemerintah Libya untuk membuang mayat-mayat itu.
Satu rencana yang sempat ditetapkan untuk pemakaman mayat itu di kota Sirte gagal ketika medan perang berubah.
Rencana lain, mengubur mayat ISIS di pemakaman imigran yang meninggal ketika menyeberang ke Eropa, juga batal karena pemakaman itu tidak cukup besar.
Unit polisi yang mengelola kompleks itu mengatakan pemerintah sementara telah menetapkan anggaran untuk menguburkan mayat-mayat itu segera. Namun, baik tanggal maupun lokasi belum diumumkan.
Pemerintah Persatuan Nasional tidak menanggapi permintaan komentar.
Sementara itu, pihak berwenang Tripoli memiliki prioritas lain di tengah desakan politik yang merusak pemilu dan persaingan yang sedang berlangsung antara kekuatan lokal yang mengendalikan wilayah kekuasaan mereka sendiri.
Sebuah pemungutan suara yang direncanakan bulan lalu dipandang sebagai kemungkinan jalan ke depan, memberikan penguasa baru Libya mandat yang lebih jelas untuk menangani secara meyakinkan sisa-sisa perang yang buruk. Tetapi pemungutan suara tidak pernah terjadi di tengah pertikaian tentang aturan dasar di antara faksi-faksi yang bersaing.*