Hidayatullah.com– Kapal kargo Rusia, yang dituding Ukraina mengangkut gandum curian dari wilayahnya yang diduduki tentara Moskow, tampak sudah merapat di pelabuhan Tartus Suriah, menurut citra satelit yang dianalisis Associated Press.
Kapal kargo SV Konstantin berangkat dari pelabuhan di Semenanjung Krimea yang diduduki Rusia di pesisir Laut Hitam sekitar tanggal 6 Juli, menurut data pelacakan kapal di situs MarineTraffic.com yang dianalisis AP.
Kapal itu memuat gandum Ukraina di Sevastopol, kata Kedutaan Besar Ukraina di Lebanon dalam sebuah pernyataan hari Kamis (18/8/2022) kepada AP. Kota pelabuhan di Krimea itu kedatangan pasukan Rusia yang membawa palawija dengan truk-truk dari wilayah pendudukan, kata pejabat Ukraina itu.
Konstantin berlayar melalui Bosphorus dan mencapai kota Turki Izmir di Laut Aegea. Kapal kemudian menyusuri pesisir Siprus, sebelum mematikan alat pelacak Automatic Identification System pada hari Ahad. Kapal-kapal yang berlayar seharusnya tetap mengaktifkan pelacak AIS, tetapi kapal yang ingin menyembunyikan pergerakannya sering kali mematikan instrumen tersebut. Mereka yang berlayar menuju ke pelabuhan Suriah sering melakukannya.
Citra satelit dari Planet Labs PBC yang dianalisis oleh AP menunjukkan Konstantin sedang berada di lepas pantai Tartus pada hari Selasa dan Rabu kemarin. Panjang, lebar, dan tampilan kapal menyerupai gambar Planet Labs sebelumnya dari kapal yang diambil pada waktu yang sama dengan saat pelacak AIS-nya masih hidup di perairan utara Siprus.
Yoruk Isik, seorang ilmuwan non-residen di Washington-based Middle East Institute, yang memantau pengiriman melalui Bosphorus, melakukan pelacakan terhadap pelayaran Konstantin. Dia dan sejumlah analis intelijen sumber terbuka lainnya yang pertama-tama mengatakan yakin kapal itu juga berada di lepas pantai Tartus, berdasarkan foto-foto satelit.
Setelah dihubungi oleh AP, Kedutaan Besar Ukraina di Lebanon juga mengatakan bahwa mereka yakin Konstantin telah tiba di Suriah setelah sebelumnya mengklaim akan menuju ke Tripoli, Libanon.
“Di atas kapal tersy ada palawija yang dijarah dan diangkut secara ilegal oleh otoritas pendudukan Rusia dari gudang-gudang yang terletak di daerah pendudukan di Zaporizhzhya, Kherson dan Mykolaiv,” kata kedutaan seperti dikutip AP Kamis (18/8/2022).
Pejabat di pelabuhan Tartus tidak dapat dihubungi untuk dimintai komentar. Misi Suriah untuk PBB tidak menanggapi permintaan komentar mengenai hal itu, lapor AP.
Suriah saat ini masih mendapat sanksi dari negara-negara Barat atas pembunuhan dan penganiayaan terhadap warga sipil selama perang saudara berkecamuk di sana, meskipun bahan makanan dikecualikan dari sanksi.
Sebelumnya pada bulan Mei, citra satelit menunjukkan kapal berbendera Rusia Matros Pozynich sedang berlabuh di Latakia, Suriah. Ukraina mengatakan kapal itu membawa 27.000 ton palawija yang dicuri Rusia darinya. Ukraina mengatakan awalnya bahan pangan itu dicoba dijual ke Mesir, tetapi ditolak Kairo.
Tartus, terletak di pantai Laut Mediterania berada sekitar 320 kilometer dari Damaskus. Di sana Rusia memiliki pangkalan laut, satu-satunya yang berada di luar bekas wilayah Uni Soviet.
Pada 2017, Moskow mencapai kesepakatan dengan pemerintah Bashar Assad untuk memperpanjang sewanya di Tartus selama 49 tahun. Perjanjian tersebut memungkinkan Rusia untuk menyimpan hingga 11 kapal perang di sana, termasuk yang bertenaga nuklir. Foto satelit pekan ini menunjukkan setidaknya dua kapal selam Rusia dan sejumlah kapal perang lainnya berada di pelabuhan Tartus.
Stroytransgaz, perusahaan milik miliarder oligarki Rusia Gennady Timchenko melalui perusahaan investasinya Volga Group, mengelola pelabuhan Tartus. Timchenko, yang dekat dengan Presiden Rusia Vladimir Putin, merupakan salah satu orang kaya Rusia yang dijatuhi sanksi oleh Uni Eropa dan Amerika Serikat.
Baik curian atau dibeli secara legal, kedatangan kapal SV Konstantin yang membawa palawija Ukraina menunjukkan ketergantungan Damaskus terhadap Moskow.
Sebelum Konstantin, kapal kargo Razoni belum lama ini berlabuh di Suriah, menurunkan jagung Ukraina yang dibeli secara legal sebagai bagian dari upaya Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk membuka akses pasokan makanan bagi wilayah konflik guna menghindari kelaparan.*