Hidayatullah.com– Qatar menolak seruan untuk memberikan uang kompensasi kepada para pekerja migran yang tewas atau terluka saat menggarap proyek berkaitan penyelenggaraan kompetisi sepakbola Piala Dunia 2022.
Menteri Tenaga Kerja Ali bin Samikh Al Marri kepada AFP mengatakan bahwa sudah membagikan ratusan juta dolar gaji yang belum terbayar dan menuding “rasisme” para pengkritik negaranya.
Mari mengatakan Qatar sudah memiliki skema pendanaan bagi pekerja yang meninggal dunia dan terluka saat bekerja.
“Seruan untuk menggandakan kampanye kompensasi yang dipimpin FIFA adalah aksi publisitas,” katanya dalam sebuah wawancara eksklusif dengan AFP. “Pintu kami terbuka. Kami telah menangani dan menyelesaikan banyak kasus.”
Amnesty International dan Human Rights Watch mendesak FIFA dan Qatar untuk menciptakan dana bagi para pekerja yang setara dengan hadiah uang Piala Dunia senilai $440 juta.
Mereka menuduh Qatar mengecilkan angka laporan kematian pekerja proyek Piala Dunia. Pemerintah dengan tegas membantah laporan bahwa ribuan orang tewas dalam kecelakaan di lokasi konstruksi atau karena penyakit yang berhubungan dengan suhu panas di musim panas yang membakar negara itu.
FIFA mengatakan ada “dialog yang sedang berlangsung” tentang pembentukan dana tersebut, tetapi dalam komentar publik pertama pemerintah, Marri mengatakan proposal itu tidak dapat dijalankan.
“Setiap kematian adalah tragedi,” kata Marri pada hari Ahad (31/10/2022). “Tidak ada kriteria untuk pembentukan dana ini.
“Di mana para korbannya, apakah Anda memiliki nama-nama korban, bagaimana Anda bisa mendapatkan angka-angka ini?” tanyanya.
Sejumlah serikat pekerja internasional terkemuka juga mengatakan dana baru akan terlalu rumit untuk dibentuk dan dikelola.
Qatar memulai Workers’ Support and Insurance Fund pada tahun 2018 untuk membantu para pekerja yang belum dibayar, yang menurut menteri dana itu telah mengucurkan $320 juta tahun ini saja.
Patut diketahui, gaji pekerja migran kontrak proyek Piala Dunia banyak yang disalurkan oleh perusahaan perekrut tenaga kerja, bukan langsung oleh perusahaan penggarap atau pemilik proyek. Jadi, meskipun pemilik proyek sudah memberikan uang gaji, belum tentu langsung diserahkan langsung tangan ke pekerja, atau dalam beberapa kasus bahkan diselewengkan oleh agen tenaga kerja.
“Jika ada orang yang berhak atas kompensasi tetapi belum menerimanya, mereka harus maju melaporkan dan kami akan membantu mereka,” kata Marri, seraya menambahkan bahwa Qatar siap untuk melihat kasus-kasus yang terjadi lebih dari lebih dari satu dekade lalu.
Marri mengatakan para pencela Qatar mengabaikan reformasi yang dilaksanakan sejak 2017 dengan bantuan Organisasi Buruh Internasional (ILO), badan di bawah Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Sistem ketenagakerjaan ‘Kafala’ yang dikatakan para penentangnya hampir mendekati perbudakan sebenarnya telah dihapus di Qatar. Pekerja sekarang dapat berganti pekerjaan dan meninggalkan negara tanpa izin majikan mereka.
Pemerintah telah menetapkan upah minimum 1.000 riyal ($275) per bulan, dan mengesahkan undang-undang yang melarang perdagangan manusia dan membatasi jam kerja maksimal yang dapat dilakukan dalam cuaca panas yang ekstrem.
Marri mengatakan 420.000 pekerja telah beralih pekerjaan sistem baru diterapkan dan $320 juta telah dibayarkan tahun ini saja kepada pekerja yang kehilangan upahnya.
Empat puluh dua agen perekrutan tenaga kerja yang dituduh melakukan eksploitasi telah ditutup, pengadilan yang mendengarkan keluhan telah meningkat dari tiga menjadi lima, dan inspeksi terhadap tenaga kerja tambahan telah diperintahkan dilakukan di hotel-hotel dan industri lainnya selama penyelenggaraan Piala Dunia.
“Setelah semua upaya ini, semua reformasi ini, orang masih saja menyerang kami,” kata Marri.
Negara dan kelompok-kelompok lain menggunakan “informasi palsu” dan “rumor” untuk “mendiskreditkan Qatar dengan klaim-klaim yang sengaja dibuat untuk menyesatkan”, imbuhnya.
Marri menambahkan bahwa sejumlah politisi asing menerapkan “standar ganda” dan menggunakan Qatar “sebagai arena untuk kepentingan politik mereka sendiri”.
Dia tidak memberikan contoh, tetapi Qatar akhir Oktober memanggil duta besar Jerman atas komentar yang dibuat oleh Menteri Dalam Negeri Jerman.
Sebagian pengkritik Qatar juga berlaku “rasis”, klaim Marri.
“Mereka tidak ingin sebuah negara kecil, sebuah negeri Arab, sebuah negeri Muslim, untuk menggelar Piala Dunia,” katanya.
“Mereka sangat tahu persis bahwa reformasi sudah dilakukan, tetapi mereka tidak mau mengakuinya karena mereka memiliki motivasi-motivasi rasis.”
Menurut Menteri Tenaga Kerja Qatar itu, penyelenggaraan Piala Dunia di negaranya justru mempercepat reformasi.
“Kami akan menegaskan kembali komitmen kami dan melanjutkan reformasi kami, karena kami ingin terus meningkatkan negara kami sendiri agar lebih baik.”
Lebih lanjut dia mengatakan bahwa pihaknya sedang melakukan pembicaraan dengan PBB perihal pendirian kantor permanen ILO di Doha, dan bahwa Qatar ingin menjadi tuan rumah dialog tahunan tentang perlindungan pekerja migran.
“Kami sekarang terdepan di kawasan ini dalam hal reformasi migran,” kata Marri. “Kami memiliki hubungan yang baik dengan negara-negara tetangga, dan kami dapat saling berbagi pengalaman terbaik.”*