Hidayatullah.com—Lebih dari 50 kelompok Uighur hari Kamis mendesak kepala negara dan pemimpin organisasi internasional yang bertemu dengan Presiden China Xi Jinping di Arab Saudi untuk mengutuk kejahatan dan kekejaman China terhadap etnis Uighur dan mengakhiri genosida di wilayah Xinjiang.
Xi Jingping, yang melakukan kunjungan kenegaraan selama tiga hari ke Arab Saudi, menandatangani perjanjian kemitraan strategis komprehensif dengan Raja Salman bin Abdulaziz Al Saud. Kedua belah pihak setuju mengadakan pertemuan secara bergiliran setiap dua tahun.
Selama awal kunjungan, perusahaan China dan Saudi menandatangani lebih dari 30 perjanjian investasi. Xi Jingping juga akan menghadiri KTT dengan negara-negara Arab dan negara-negara Teluk, termasuk KTT China-Arab States yang pertama.
Orang nomor satu China itu terakhir mengunjungi negara Timur Tengah itu pada 2016. “Dalam berbagai kesempatan, organisasi Uighur menyatakan kekecewaan besar mereka atas sikap diam negara-negara mayoritas Muslim atas genosida etnis Uighur, melibatkan penahanan sewenang-wenang terhadap jutaan orang Uighur di kamp-kamp konsentrasi, di mana mereka dipaksa untuk meninggalkan keyakinan dan praktik keagamaan mereka, ” demikian sebuah pernyataan yang dikeluarkan oleh kelompok tersebut.
China juga telah menghancurkan atau merusak ribuan masjid dan kuburan Muslim di Xinjiang, yang oleh orang Uighur disebut sebagai Turkistan Timur, China juga melarang praktik keagamaan seperti memberi nama Islami pada anak-anak, melarang puasa Ramadhan, dan memaksa umat Islam untuk makan daging babi dan minum alkohol.
Pada bulan Oktober, banyak negara mayoritas Muslim memberikan suara menentang atau abstain pada Resolusi PBB yang berusaha untuk mengangkat perdebatan di Dewan Hak Asasi Manusia atas laporan mantan kepala hak asasi manusia PBB tentang pelanggaran hak di Xinjiang.
Laporan tersebut mendokumentasikan pelanggaran yang meluas; termasuk penyiksaan, penangkapan sewenang-wenang, aborsi paksa, dan pelanggaran kebebasan beragama, dan menyimpulkan bahwa represi di sana “mungkin merupakan kejahatan internasional, khususnya kejahatan terhadap kemanusiaan.”
“Kegagalan negara-negara ini untuk memberikan ruang debat di Dewan Hak Asasi Manusia, sebuah badan yang dibentuk untuk melakukan hal itu, bertentangan dengan nilai-nilai inti dan prinsip-prinsip Islam,” kata pernyataan itu.
Arab Saudi adalah tempat dari dua tempat tersuci Islam, Makkah dan Madinah, dan keluarga kerajaan Saudi bertanggung jawab atas perwalian mereka dan memfasilitasi ziarah keagamaan di sana.
‘Menutup mata’
Dolkun Isa, Presiden Kongres Uighur Sedunia (WUC) yang berbasis di Munich, Jerman, mengatakan China tidak hanya melakukan genosida terhadap Muslim Uighur, tetapi juga telah menyatakan perang terhadap Islam.
“Benar-benar tidak dapat diterima bahwa para pemimpin dunia Muslim akan duduk bersama diktator China di panggung yang sama dan hanya berbicara tentang bisnis dan kerja sama dengan menutup mata terhadap serangan China terhadap Islam,” katanya kepada Radio Free Asia (RFA).
Gheyyur Qurban, Direktur kantor WUC di kantor Berlin mengatakan negara-negara seperti Arab Saudi dan Iran tidak hanya diam atas genosida Uighur, tetapi juga mendukung posisi pemerintah China, bahkan di PBB dengan mengorbankan sesama Muslim Uighur.
“Sangat mengecewakan melihat para pemimpin Saudi yang mengaku sebagai Pelindung Dua Kota Suci menerima Xi Jinping, pelaku utama genosida Uighur, dengan upacara sombong dan mengizinkannya mengadakan pertemuan puncak dengan para pemimpin Timur Tengah untuk memperluas infiltrasi dan pengaruh China di jantung dunia Islam,” katanya kepada RFA.
China adalah mitra dagang utama Arab Saudi, dan kerajaan itu berfungsi sebagai sumber vital minyak mentah bagi China.
WUC, salah satu penandatangan pernyataan itu, juga meminta otoritas Saudi untuk tidak memulangkan empat warga Uighur yang ditahan di sana kembali ke China, dengan mengatakan ekstradisi mereka akan melanggar prinsip internasional non-refoulement.
Menurut WUC, praktik tersebut melarang negara yang menerima pengungsi atau pencari suaka untuk mengembalikan mereka ke negara di mana mereka kemungkinan besar akan menghadapi penganiayaan.
Seperti diketahui, polisi Saudi telah menangkap dua pria Uighur yang berasal dari Xinjiang pada November 2020 saat mereka berada di negara tersebut karena alasan agama. Penangkapan diduga dilakukan setelah Kedutaan Besar China di Arab Saudi meminta ekstradisi mereka.
Otoritas Saudi juga menangkap Abula Buheliqiemu dan putri remajanya di dekat Mekkah Maret ini. Pihak berwenang memberi tahu keempatnya bahwa mereka menghadapi deportasi ke China.
Dalam sebuah laporan dalam laporan bertajuk ‘Patrol and Persuade’ yang dirilis kelompok hak asasi manusia Safeguard Defenders, yang berbasis di Spanyol menunjukkan melaporkan adanya 100 “kantor polisi ilegal China” yang beroperasi di seluruh dunia. Hal ini telah mendorong setidaknya 12 negara termasuk Kanada, Jerman dan Belanda untuk menyelidikinya.
Lembaga itu juga mengidentifikasi rezim Tiongkok bahnya punya 11 kantor polisi berlokasi di Italia. Pos polisi ini juga terdeteksi di Kroasia, Serbia, dan Rumania.
Safeguard Defenders mengeklaim pihak berwenang Beijing telah menggunakan taktik intimidasi untuk menekan warga China yang tinggal di negara-negara ini, terlepas dari apakah mereka dicurigai melakukan penipuan telekomunikasi atau kejahatan lainnya, untuk kembali.*