Hidayatullah.com– Tangan-tangan jahil merusak karya seni Aborigin berusia 30.000 di sebuah gua sakral di negara bagian South Australia.
Sekelompok vandal memasuki gua Koonalda Cave di Nullarbor Plain dan menorehkan grafiti di lokasi cagar budaya itu, menuliskan kata-kata “don’t look now, but this is a death cave” (jangan lihat, ini gua kematian).
Pihak berwenang mengatakan para pelaku menggali tanah di bawah gerbang baja untuk dapat memasuki lokasi dan merusak satu bagian dari area tersebut.
Dr Keryn Walshe, seorang arkeolog yang menekuni situs-situs peninggalan Aborigin kuno, mengatakan karya seni tersebut “unik di Australia” dan sudah terdaftar sebagai situs warisan nasional disebabkan kelangkaannya.
“Para vandal menyebabkan kerusakan sangat besar. Karya seni itu tidak dapat dipulihkan,” ujarnya seperti dilansir The Guardian Rabu (21/12/2022).
“Permukaan gua itu sangat lembut. Tidak mungkin menghapus grafiti itu tanpa merusak karya seni di bawahnya. Ini merupakan kehilangan tragis yang sangat besar karena dirusak sampai parah seperti itu.”
Walshe mengatakan karya seni itu “sangat signifikan ” bagi pemilik tradisionalnya, yaitu orang Mirning, yang sudah mengunjungi gua tersebut selama lebih dari 30.000 tahun.
Dia menambahkan bahwa pagar, yang dipasang tahun 1980-an, sudah “tidak memadai lagi” seiring dengan waktu. Sebelum kejadian ini, banyak orang yang memasuki gua dan menorehkan nama mereka atau tanggal kunjungannya di tempat sakral itu.
Kyam Maher, jaksa agung wilayah South Australia dan menteri urusan Aborigin, mengecam vandalisme tersebut dan menyeru agar pelakunya dihukum berat.
“Ini sungguh sangat mengejutkan,” ujarnya kepada ABC Radio.
“Dari apa yang dikatakan dan foto yang ditunjukkan kepada saya, di batu yang sangat lunak di dalam gua, para vandal … menggunakan jari mereka dan menggambar di atas karya seni yang berusia sangat tua itu.”
Namun, Maher sendiri tidak luput dari kecaman para pakar, yang mengatakan bahwa mereka sudah menginformasikan kepada pemerintah perihal vandalisme yang terjadi di bulan Juni, dan sejak itu sedikit saja yang dilakukan untuk meningkatkan keamanan di sekitar lokasi tersebut.
Dr Clare Buswell, ketua Australian Speleological Federation’s Conservation Commission, melaporkan vandalisme yang terjadi di situs bersejarah itu kepada komite tetap urusan tanah Aborigin di parlemen pada bulan Juli.
Dalam laporannya diungkapkan bahwa Aboriginal Heritage Act dan unit urusan dan rekonsiliasi Aborigin di kantor kejaksaan wilayah South Australia gagal melindungi situs kebudayaan itu.
“Kegagalan membangun gerbang yang efektif, atau memanfaatkan layanan keamanan modern, seperti kamera pemantau satwa liar yang beroperasi 24/7, telah dalam banyak hal membiarkan vandalisme ini terjadi,” tulis Buswell dalam laporannya.
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
Buswell mengatakan kepada Guardian Australia bahwa pemerintah negara bagian perlu ditekan supaya bertindak, sebab jika tidak maka akan ada lebih banyak lagi warisan budaya yang akan dirusak oleh tangan-tangan tak bertanggung jawab.
Gua tersebut pada 2014 ditetapkan sebagai sebuah situs warisan budaya nasional, dan pengelolaannya merupakan tugas Department for Environment and Water bersama Far West Coast Aboriginal Corporation, yang mana orang suku Mirning menjadi bagian di dalamnya.
Akan tetapi, sementara suku Mirning merupakan pemilik sah dari situs tersebut, mereka terhalang untuk dapat melindunginya secara layak disebabkan adanya aturan Aboriginal Heritage Act yang mendahului peraturan federal Native Title Act of 1993.
Undang-undang negara bagian tersebut tidak pernah diubah untuk mengakui undang-undang federal yang memberdayakan suku asli sebagai pemegang hak milik sejati.*