Hidayatullah.com—Para ekstremis sayap kanan mendapat dukungan Kepala Menteri Haryana M.L. Khattar yang mengumumkan menarik perjanjian yang mengizinkan umat Islam untuk Jumat di tanah yang dialokasikan pemerintah. Saat mengumumkan keputusan, Khattar mengatakan umat Islam tidak boleh melakukan Jumat di ruang terbuka di Gurugram.
Selama beberapa minggu terakhir, aktivis garis keras Hindu, Hindutva yang didukung oleh organisasi ekstremis telah memprotes umat Islam shalat di tempat yang telah ditentukan pemerintah di wilayah Gurugram. Aksi protes ini memicu diskusi seputar konvensi yang telah berlangsung selama bertahun-tahun.
Dalam beberapa kesempatan, umat Islam harus menghadapi ancaman dan slogan-slogan kelompok fanatik Hindu yang bertentangan dengan iman dan komunitas mereka.
Menyusul beberapa bentrokan komunal pada tahun 2018, pemerintahan wilayah Gurugram telah mengalokasikan tanah milik pemerintah untuk umat Islam di beberapa bagian kota sebagai tempat melaksanakan ibadah shalat Jumat. Langkah pemerintah itu dilakukan untuk meredakan konflik dua komunitas.
Namun, dalam beberapa bulan terakhir, organisasi sayap kanan Hindutva Kembali menentang keputusan pemerintah dan memicu debat media sosial, yang akhirnya diikuti beberapa ekstremis Hindutva di beberapa tempat.
Saat mengumumkan pembatalan perjanjian yang telah diberikan pemerintah, Khattar mengatakan bahwa administrasi Gurugram akan melakukan negosiasi ulang dengan semua pihak yang terlibat untuk mencari penyelesaian “damai”. Selama belum ada keputusan, umat Islam hanya boleh shalat di rumah atau masjid mereka, ujar Khattar.
“Saya telah berbicara dengan polisi dan masalah ini harus diselesaikan. Kami tidak memiliki masalah dengan siapa pun yang berdoa di tempat ibadah. Tempat-tempat itu telah dibangun untuk tujuan ini, ”katanya kepada wartawan. “Tetapi ini tidak boleh dilakukan secara terbuka. Kami tidak akan mentolerir kebiasaan (shalat, red) di tempat terbuka,” tambahnya.
Langkah menteri utama untuk mendukung para ekstremis –bahkan ketika sebagian besar dari mereka yang mengangkat slogan-slogan fanatik dan memberikan ancaman terhadap namazi (orang ibadah) tetap bebas dari hukuman, bisa dibilang akan mendorong kampanye kelompok mayoritas tidak toleran tidak hanya di Haryana tetapi di seluruh India di mana para ekstremis Hindutva telah berusaha untuk mengasingkan kelompok Muslim dari arus utama politik dan ekonomi, kutip The Wire.
Khattar juga menambahkan bahwa pemerintah distrik akan mengidentifikasi area bebas milik Dewan Wakaf Muslim untuk membantu komunitas Muslim, memperjelas bahwa tanah pemerintah tidak akan tersedia untuk ibadah semacam itu.
Langkah Khattar dipandang sebagai panutan sentimen ekstremis, terutama ketika tidak ada larangan atau diktat semacam itu yang dikeluarkan oleh pemerintahnya terhadap jemaah agama dari keyakinan lain. Selama berabad-abad, umat Hindu telah mengorganisir unjuk rasa jagran, Ram Navami, Dussehra dan Kanwaria sementara etnis Sikh telah mengorganisir kirtan dan prabhat pheris setiap hari.
Belakangan ini, pertunjukan publik tentang praktik keagamaan Hindu didorong oleh kelompok garis keras Hindutva, sering kali untuk tujuan politik Partai Bharatiya Janata (BJP), tulis The Wire.
Sebaliknya, umat Islam dilarang melakukan shalat di Gurugram, dengan segala cara untuk memicu permusuhan komunal. Influencer sayap kanan telah menentang setiap tampilan publik dari praktik keagamaan sambil mengkritik penawaran namaz (ibadah) di Gurugram.
Namun, pada kenyataannya, para ekstremis Hindutva dalam protes mereka meneriakkan slogan-slogan “Jai Shri Ram” (Dewa Sri Rama) dan melemparkan kotoran sapi ke tempat shalat – sarana yang jelas untuk ruang ibadah umat Islam dan mempolarisasi praktik konvensional di sepanjang garis komunal.
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
Sejak protes pertama dimulai pada bulan Oktober, ketegangan antar komunitas telah berkobar. Hal ini dinailah dampak kebijakan pemerintah Gurugram bulan lalu yang melarang umat Islam shalat di setidaknya delapan dari 37 tempat yang ditunjuk pemerintah.
Sejak saat itu, pemerintah kabupaten juga melarang umat Islam beribadah di tempat lain dengan dalih menerima keluhan dan keberatan “penduduk setempat”. Hal ini ditambah provokasi kelompok Hindutva yang terus gencar memusuhi aktivitas Muslim.
Saluran TV India, NDTV melaporkan bahwa di antara serangkaian “keberatan” yang baru muncul, salah satunya munculnya isu bahwa pengungsi Rohingya menggunakan tempat untuk melakukan kejahatan di daerah tersebut. Baik polisi maupun pemerintah tidak dapat mengumpulkan bukti untuk mendukung klaim tersebut.
Bahkan Khattar dalam dukungan terselubung kepada para aktivis Hindutva telah mengatakan sebelumnya bahwa “mereka yang tidak boleh memblokir lalu lintas jalan”. Sebagaian mengatakan, langkah Khattar bagian kampanye politik merangkul dukungan kelompok ekstremis.*