Hidayatullah.com—New York Times menjelaskan kesepakatan atas Suriah antara Presiden Amerika Serikat Donald Trump dan Presiden Rusia Vladimir Putin, dengan lebih detail.
New York Times mengungkapkan bahwa rahasia dalam kesepakatan tersebut adalah bahwa pejabat Arab Saudi, Uni Emirat Arab, dan Israel mendorong pemerintahan Trump dan Putin untuk melakukan pembicaraan untuk mencapai kesepakatan yang penting, dalam Pertemuan Ukraina-Suriah.
“Poin pertama dalam kesepakatan tersebut adalah agar Pangeran Abu Dhabi, Muhammad bin Zaid al Nahyan, yang telah memberitahu pejabat Amerika bahwa Presiden Putin berniat untuk menyelesaikan konflik di Suriah, dijatuhi sanksi sebagai respon atas perbuatan Rusia di Ukraina,” ungkap media asal Amerika tersebut dikutip Eldorar.
Dikutip dari New York Times, bahwa pejabat Amerika belum lama ini berkomentar, “Ibn Zaid bukanlah satu-satunya pelaku di negara yang mengutamakan perundingan dengan musuhnya pada perang dingin yang telah usai.”
Baca: Netanyahu Minta Putin Izinkan Pesawat Israel di Udara Suriah
Ia menambahkan, “Ada tiga pihak yang ikut campur dan tidak berhubungan dengan kepengurusan berikutnya, yaitu ‘Israel’, Arab Saudi, dan Uni Emirat Arab. Mereka semua membawa kepentingan mereka masing-masing secara tersembunyi.”
New York Times juga menyatakan, pemimpin ketiga negara tersebut berulang kali mendukung pandangan Amerika dalam ide-ide untuk mencegah hukuman terkait Ukraina sebagai balasan atas bantuan Putin dalam memberantas kekuatan Iran di Suriah.
Dengan kata lain, Presiden Donald Trump dan Presiden Rusia Vladimir Putin menyetujui kerja sama untuk menyelesaiakn krisis Suriah, dengan fokus membe kepentingan dan keamanan ‘Israel’.
Dalam beberapa pekan terakhir, pasukan Suriah yang didukung oleh Rusia, membuat kemajuan besar terhadap Israel dan Yordania di barat daya negara tersebut.
Pada saat yang sama, ‘Israel’ meningkatkan serangan udara terhadap sasaran militer Iran dan milisi pro-Iran di seluruh Suriah, sebagai langkah pencehagan akan kehadiran militer Iran secara permanen di wilayah tersebut.
Bagi Israel, permintaan utama adalah pasukan rezim Suriah menjauh dari zona penyangga demiliterisasi sepanjang garis gencatan senjata 1974 antara Suriah dan Dataran Tinggi Golan yang dikuasi ‘Israel’, yaitu sebuah wilayah yang diawasi Perserikatan Bangsa-Bangsa sebelum perang Suriah meletus pada 2011.
“Assad harus menghormati perjanjian pemisahan 1974, Putin dan Trump berharap ia akan melakukannya,” kata Brigjen Jenderal Yossi Kuperwasser, mantan kepala analisis di intelijen militer ‘Israel’. “Tapi Israel ingin Iran tidak diizinkan tinggal di seluruh Suriah, bukan hanya Dataran Tinggi Golan,” sebagaimana dikutip TWSJ belum lama ini.*/ Ja’far Auzan Muzakki