Hidayatullah.com–Namanya Heri (43), warga Kota Bekasi. Sabtu pagi (8/8), ia buru-buru menghidupkan televisi setelah mendapat kabar dari tetangganya bahwa sedang ada tayangan live penggrebekan markas Noordin M Top oleh Densus 88 Antiteror di Temanggung, Jawa Tengah.
Bola matanya tertuju dengan adegan yang tengah berlangsung di layar kaca. Perasaannya hanyut antara rasa tegang dan penasaran saat sang reporter yang memakai jaket dengan dalaman kaos, begitu lihai berceloteh menggambarkan suasana.
Heri pun tersentak saat reporter tadi mengabarkan bahwa Noordin M Top yang berada di rumah itu berhasil ditembak mati oleh Densus 88. Ia percaya bahwa drama baku tembak 17 jam itu berhasil melumpuhkan Noordin. Ia pun dibuat lega.
Beberapa hari kemudian, Kepolisian merilis bahwa jasad dalam penggerebekan itu bukan Noordin M Top, melainkan Ibrohim. Mendengar berita ini Heri panik sekaligus kaget, karena temuan polisi tidak sesuai dengan laporan reporter salah satu stasiun televisi yang ditontonnya beberapa hari sebelumnya. Dengan begitu ancaman teror akan tetap berlanjut.
Kasus di atas adalah kesekian kalinya media mengambil kesimpulan yang salah. Menurut Juru Bicara Hizbut Tahrir (HTI), Ismail Yusanto, kesalahan ini akibat media memaksa mengambil peran sebagai aparat investigasi.
“Padahal, peran investigasi dalam kasus terorisme ini adalah peran dari kepolisian,” jelas Ismail.
Ismail, dari sebuah sumber terpercaya, menyebutkan, pihak kepolisian menuding media televisi telah memberikan ruang gerak bagi para pelaku teror dengan berita-berita investigasinya.
“Semakin detil berita yang ditayangkan, semakin leluasa para teroris berkelit dari kejaran aparat. Karena bagaimana pun juga pelaku teror selalu mengambil referensi dari berita di media,” ungkap Ismail.
Sementara itu, Ade Armado, pakar komunikasi, mengatakan bahwa tidak sepantasnya media menayangkan secara live penggrebekan Temanggung. Karena publik yang menontonnya sangat beragam.
Ade khawatir tayangan ini bisa menjadi pembenaran tindakan kekerasan. “Di luar negeri saja tidak diperbolehkan televisi ikut melakukan penggerebekan yang dilakukan aparat terhadap para pelaku kriminal. Ini bukan reality show,” kata Ade.
Ade berharap agar para awak media mematuhi kode etik jurnalistik yang disepakati. “Jangan membuat berita yang spekulatif, stigmatisasi, dan bikin panik masyarakat,” ujarnya. (Ibnu Syafaat/hidayatullah.com)