Hidayatullah.com—Mahkamah Konstitusi (MK), Senin, (18/4), menolak permohonan pemohon judicial review UU No 1/PNPS/1965 tentang Larangan Penodaan Agama. Putusan ini langsung disambut dengan teriakan takbir oleh pengunjung sidang.
Dalam permohonannnya, pemohon meminta majelis hakim menyatakan bahwa Pasal 1 ayat 1 dan dua Pasal 3 dan Pasal 4A dari UU Nomor 1 PNPS 1965 tentang Penodaan Agama tidak mengikat hukum. Demikian juga dengan akibat hukumnya.
Keputusan setebal 322 halaman dibacakan majelis hakim MK sejak pukul 14.00 WIB. Terdapat disenting opinion atau pendapat berbeda dari salah satu hakim, yakni hakim konstitusi Maria Farida Indrati. Selain itu, hakim konstitusi Harjono membacakan concurring opinion atau menyepakati putusan MK, tetapi memiliki alasan yang berbeda. Menurut Haryono, kebebasan beragama merupakan salah satu hak asasi manusia, yang seharusnya bisa diatur lebih spesifik.
Majelis hakim konstitusi yang dipimpin Ketua MK Mahfud MD menilai bahwa pemohon tidak dapat membuktikan dalil-dalilnya bahwa pasal-pasal tersebut melanggar konstitusi, mengancam kebebasan beragama, dan bersifat diskriminatif serta berpotensi melakukan kriminalisasi terhadap penganut agama minoritas.
Menurut majelis hakim, undang-undang ini tidak membatasi kebebasan beragama, sebagaimana yang diargumentasikan pemohon. Sebaliknya, undang-undang ini melarang mengeluarkan perasaan yang bersifat permusuhan atau penodaan agama atau pokok-pokok ajaran agama yang ada di Indonesia.
Majelis hakim juga menegaskan, kendati merupakan produk hukum pada era 1965, UU ini secara formal tetap sah secara hukum. Pasalnya, saat itu, MPRS tetap melakukan seleksi terhadap undang-undang agar tetap sesuai dengan UUD 1945.
“MK memutuskan menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya,” kata Ketua MK, Mahfud MD di dampingi 8 hakim konstittusi lainnnya di gedung MK, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Senin, sore.
MK berpendapat jika negara memang punya otoritas untuk mengatur masyarakat. Jika ada konflik, maka yang bisa memberikan paksaan untuk mengatur adalah negara.
MK tidak sependapat dengan alasan pemohon bahwa UU ini tidak relevan karena dibuat pada keadaan darurat. Menurut MK, semua Perpres yang dibuat dalam keadaan darurat sudah diseleksi dengan TAP MPRS No XIX/MPRS/1966. “Ada yang dicabut, ada yg dilanjutkan. UU ini termasuk yang diteruskan lagi pada 1969. Jika alasan uu darurat, maka banyak yang dibatalkan,” bunyi putusan MK.
Mendengar putusan ini, puluhan penduku UU langsung meneriakan takbir diruang sidang. “Allahu Akbar…”
Sebagaimana diketahui, uji materi UU Penodaan Agama sebelumnya telah diajukan oleh tujuh LSM dan beberapa tokoh liberal, diantaranya almarhum Abdurrahman Wahid, Musdah Mulia, Dawam Raharjo dan Maman Imanulhaq. Sedangkan tujuh LSM antara lain Imparsial, ELSAM, PBHI, Perkumpulan Pusat Studi HAM dan Demokrasi, Perkumpulan Masyarakat Setara, Yayasan Desantara dan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia. [mtr/el/cha/hidayatullah.com]