Hidayatullah.com–Carut marutnya perekonomian dunia saat ini adalah buah dari diterapkannya sistem ekonomi kapitalis.Perbedaan si kaya dengan si miskin bagai bumi dengan langit. Solusi keluar dari permasalahan pelik ekonomi umat saat ini adalah mengikuti aturan Allah dan Rasul-Nya secara menyeluruh (kaffah).
Meski demikian, penerapan ekonomi syariah Islam tidak bisa hanya dari satu sisi saja. Harus menyeluruh di semua sektor dan tidak bercampur dengan sistem bathil yang ada. Contohnya sistem perbankan saat ini, meski telah memakai nama syariah sejatinya setali tiga uang dengan perbankan konvensional yang ada.
Demikian pendapat Dr. Abdul Halim yang disampaikan dalam Seminar Ekonomi Syariah, Rabu (21/7) di Bandung. Lebih lanjut pengajar pada Fakultas Hukum dan Bisnis Ekonomi Syariah Universitas Multimedia Malaysia ini menjelaskan, bank yang menambahkan kata syariah hanya membodohi umat saja.
“Tak ada bedanya, karena bank syariah masih menggunakan sistem bank konvensional. Syariah Allah itu murni, tak mungkin bisa bercampur sistem bathil. Syariah tidak mungkin lahir dari bercampur sistem Allah (haq) dengan sistem kapitalis (riba),” sambung Halim.
Ia lantas menganalogikan jika judi itu haram, maka kasino juga haram. Demikian juga jika bunga (riba) haram, maka bank haram juga. Ia pun bertanya, jika kasino ditambahi syariah hingga menjadi kasino syariah, apakah lantas menjadi halal? Demikian juga untuk bank.
Halim juga memberi gambaran, ibarat air tidak mungkin bercampur dengan minyak. Syariah Allah yang bersih tidak mungkin bercampur dengan sistem kapitalis yang kotor.
Dirinya lantas mengimbau umat Islam untuk tidak berlebihan dalam transaksi perbankan jika belum mampu secara total meninggalkan perbankan.
Adalah kesalahan besar jika Indonesia bercermin pada kesuksesan Malaysia dalam penerapan perbankan syariah. Menurutnya, praktik bank syariah di negeri Jiran yang telah dimulai sejak 1980-an adalah karena alasan politik semata.
“Saat itu warga (umat Islam) tidak mau menyimpan uangnya di bank, maka untuk menariknya dipakailah istilah bank syariah,” papar Halim membuka rahasia.
Meski sudah berganti bank syariah dengan prinsip bagi hasil, namun pada praktiknya masih berbasis sistem kapitalis dengan pola persentasi suku bunga, serta mengacu pada sistem perbankan internasional.
Sementara itu Dr A.Riawan Amin yang juga menjadi panelis dalam seminar tersebut membantah pendapat tersebut.
“Sampai saat ini belum ada fatwa yang mengharamkan bunga bank. Sedangkan di bank syariah tidak ada bunga, namun bagi hasil,” jelas mantan Direktur Utama Bank Muamalat Indonesia tersebut.
Riawan sendiri mengakui, hingga saat ini bank-bank syariah memang belum seratus persen sesuai syariah. Namun begitu, bukan berarti umat harus menjauhi, bahkan meninggalkannya.
Justru sebaliknya umat diharapkan ikut mendukung adanya bank-bank syariah yang menurutnya tujuh puluh persen sudah sesuai syariah.
“Ibarat bermain sepak bola, selama ini kita telah bermain di lapangan orang lain. Dengan cara dan aturan main yang dibuat orang lain. Karenanya kita tidak akan pernah memenangkan pertandingan. Alih-alih mendapatkan kemakmuran, kejatuhan yang kita alami,” papar Ketua Asosiasi Perbankan Syariah Indonesia (Asbisindo) tersebut.
Oleh karena itu, untuk mengatasi permasalahan ekonomi tersebut, Riawan berpendapat, ekonomi syariah solusinya. Sistem ekonomi ini merupakan sistem yang anti-maghrib (maisyir, gharar, riba, dan bathil) dan dibangun di atas landasan fairness, kejujuran, dan keterbukaan. Dan bank syariah bagian dari sistem ekonomi syariah itu.
Meski berbeda pendapat soal perbankan, keduanya setuju jika uang kertaslah (fiat money) yang menjadi sumber krisis ekonomi, baik k yang melanda negara berkembang maupun negara maju.
Abdul Halim maupun Riawan Amin sepakat, selain bertakwa kepada Allah dengan sebenarnya takwa, maka dinar dan dirham sebagai alat transaksi yang solutif bagi umat Islam maupun nonmuslim keluar dari krisis. Selain sesuai syariah, terbukti dinar dan dirham relatif lebih stabil terhadap guncangan krisis ekonomi global. [man/hidayatullah.com]