Hidayatullah.com–Pemerintah dinilai tidak memiliki alasan kuat untuk menambah utang guna menutup defisit anggaran 2011 karena asumsi pertumbuhan ekonomi tidak terlalu ekspansif.
Defisit bisa didapatkan dari efisiensi anggaran. Kebijakan anggaran negara yang defisit justru menyebabkan kontrol pelaku pasar surat utang dan kreditor asing yang lebih besar terhadap biaya pinjaman dan kebijakan anggaran RI.
Pasalnya, posisi tawar mereka terhadap pemerintah menjadi lebih kuat di saat Indonesia membutuhkan dana. Pengamat keuangan negara dari Koalisi Anti Utang, Dani Setiawan, mengemukakan hal itu di Jakarta, Kamis (19/8).
“Sebenarnya tidak beralasan menambah utang baru, baik melalui penerbitan obligasi maupun pinjaman luar negeri, karena target pertumbuhan RAPBN 2011 konservatif,” jelas dia.
Menurut Dani, asumsi pertumbuhan ekonomi 6,3 persen pada 2011 mencerminkan pesimisme pemerintah sehingga utang tidak perlu ditambah jika hanya untuk instrumen investasi.
Total utang pemerintah pada akhir 2011 diperkirakan 1.807,5 triliun rupiah. Meningkat dibandingkan perkiraan sampai akhir 2010 yang 1.688,3 triliun rupiah. Total penerbitan obligasi negara diperkirakan 1.197,1 triliun rupiah atau meningkat dibandingkan perkiraan akhir 2010 yang 1.077,1 triliun rupiah.
Sementara utang luar negeri sampai akhir 2011 diperkirakan 610,4 triliun rupiah atau turun dibandingkan perkiraan akhir 2010 sebesar 611,2 triliun rupiah.
Dani juga berpendapat penerbitan obligasi negara belakangan ini hanya untuk menampung dana asing jangka pendek atau hot money yang mengalir ke pasar keuangan Indonesia yang masih menjanjikan keuntungan tinggi.
Oleh sebab itu, Dani mengimbau pemerintah untuk konsisten mewujudkan anggaran berimbang dan mengurangi utang. Dengan anggaran berimbang, pemerintah memiliki kapasitas lebih untuk pembangunan.
“Apabila tidak ada lagi pembayaran cicilan utang, maka masalah pengangguran dan kemiskinan dapat terselesaikan,” katanya.
Disikapi Kritis
Sebelumnya, International NGO Forum on Indonesia Development (INFID) mengingatkan, meski rasio utang Indonesia terhadap produk domestik bruto (PDB) turun, dalam kenyataannya nominal total utang terus meningkat dan menjadi beban APBN.
Manager Program INFID, Wahyu Susilo, menyebutkan, dalam lima tahun ke depan setidaknya setiap tahun Indonesia harus mengalokasikan 100 triliun rupiah untuk pembayaran bunga dan cicilan utang.
INFID juga menilai, pernyataan Bank Pembangunan Asia atau ADB mengenai posisi utang luar negeri Indonesia yang tidak perlu dikhawatirkan harus disikapi dengan kritis.
Walau PDB Indonesia tinggi, ternyata tidak seluruhnya milik Pemerintah Indonesia. Penghitungan PDB masih menyertakan kepemilikan dan kekayaan asing di Indonesia.
Menteri Keuangan Agus DW Martowardojo mengatakan, pemerintah akan menjalankan kebijakan pengelolaan utang secara hati-hati. Kebijakan utang itu mengutamakan penerbitan obligasi berdenominasi rupiah di pasar dalam negeri.
Dengan langkah tersebut, pemerintah bisa mengurangi risiko mata uang. Sementara untuk utang luar negeri, pemerintah akan tetap mengambil dengan prioritas kepada sumber yang efisien, risiko rendah, dan tanpa agenda politik.
“Dengan pengelolaan utang yang baik, maka rasio utang terhadap PDB akan terus turun. Pada 2011, rasio utang terhadap PDB diperkirakan turun menjadi 26 persen dari 27,8 persen pada 2010,” kata Agus.
Sebagai komitmen pemerintah mewujudkan anggaran negara yang sehat, defisit tidak akan melebihi tiga persen dari PDB. Keseimbangan primer tetap positif, dan rasio utang terus menurun.
Meskipun pinjaman yang jatuh tempo cukup besar, yakni 110 triliun rupiah, anggaran tetap terkelola dengan baik. Untuk menutup utang jatuh tempo, pemerintah menyiapkan langkah refinancing dengan memberdayakan sumber dari dalam negeri. [kjk/hidayatullah.com]