Hidayatullah.com—Memperingati 100 tahun pendidikan Katolik di Kalimantan Timur (Kaltim), Keuskupan Agung Samarinda mengaku akan terus berbenah. Dalam seminar “Refleksi Karya Pendidikan Katolik Menuju Kualitas Pendidikan di Masa Depan”, Ketua Komisi Pendidikan Keuskupan Agung Samarinda Pastor Nicolas Setija saat membacakan sambutan Uskup Agung Samarinda mengatakan, pihaknya tak akan menyerah dan akan terus melanjutkan semangat roh pendidikan yang sudah ditanamkan para misionaris 100 tahun di Laham, Kaltim.
Seminar yang diadakan di Hotel Adika Bahtera Balikpapan ini dalam kaitan memperingati 100 tahun karya pendidikan Katolik di Kaltim sekaligus HUT ke-37 Yayasan Pendidikan Katolik Yos Sudarso Balikpapan.
Menurut catatan, sampai saat ini, Katolik di Kaltim memiliki 31 sekolah dan 7.248 murid. Di antaranya Yayasan Pendidikan Katolik Harapan Mulia Tarakan, Budi Bakti Karya MASF, Yos Sudarso Balikpapan, Elifa Mitra Setia FSE, Perkumpulan Dharma Putri Suster SPM, dan Gabriel Manek PRR.
Ketua panitia yang juga Pembina di Yayasan Yos Sudarso Balikpapan, Daniel Thio, mengatakan tantangan utama sekolah Katolik adalah berhadapan dengan sekolah negeri.
”Di sekolah kami memang kuota siswa terpenuhi, namun dari tahun ke tahun peminat turun. Kecenderungan sekarang, sekolah negeri lebih favorit,” ujar Daniel sebagaimana Kompas, Sabtu, 19 Maret 2011.
Meseki demikian, mnurut Daniel Sekolah Katolik akan terus berbenaha gar mendapat tempat di hati masyarakat, sekolah Katolik sudah terbuka. Sekolah-sekolah di bawah naungan Yayasan Yos Sudarso, 10 persen gurunya beragama non-Katolik. Separuh siswanya bahkan non-Katolik.
Misionaris Laham
Pendirian sekolah Katolik pertama di Laham tahun 1911 tak lepas dari berbagai kesulitan, seperti susah mencari peralatan dan keperluan sekolah, serta sulit mencari murid.
Para misionaris bahkan mencari murid dengan jalan dari kampung ke kampung di pedalaman.
Laham, terletaknya sekitar 100 Km dari hulu Long Iram. Lokasi ini dipilih sebagai stasi (sebuah kawasan, Red) pusat karya Pastoral, hanya suatu kebetulan. Sebab rencana awal sebenarnya ke daerag bernama Long Deho dan Long Bluu. Kedua kampung itu terletak di daerah hulu riam Sungai Mahakam. Tetapi rencana itu ditinggalkan karena mereka beranggapan, lebih baik mendirikan stasi di bagian ilir riam lebih dahulu.
Alasannya, karya di hulu riam akan menjadi sangat sulit apabila belum ada stasi di ilir.
“Setelah puluhan tahun berkarya di hulu Mahakam, baru sekitar tahun 1933, para misionaris itu masuk ke Samarinda,” tutur Roedy Haryo AMZ, salah satu tokoh umat Katolik Samarinda, dikutip Samarinda Pos, Selasa, 8
Di masa awal, kunjungan para misionaris dari wilayah hulu masih sangat terbatas. Atas pertimbangan tersebut, tahun yang sama, ditetapkan Samarinda sebagai salah satu Paroki (sebuah kawasan yang lebih luas). Dalam perkembangan selanjutnya, ditetapkan menjadi Paroki Katedral St Maria Pembantu Senantiasa.
Saat itu, perwakilan Gereja Katolik di Kalimantan masih terpusat di Banjarmasin dengan nama Vikariat Apostolik. Banjarmasin, sudah dijajaki misionaris Pater Ventimiglia, seorang misionaris asal Portugal sejak 1689. Karena perkembangannya, maka diperlukan perwakilan gereja Katolik yang baru di Kaltim.*
Foto: Samarinda Pos