Hidayatullah.com– Menurut Wakil Menteri Agama Zainut Tauhid Sa’adi, evaluasi konten buku pendidikan agama dilakukan Kementerian Agama untuk mencegah adanya paham radikal (radikalisme) dan intoleran di buku-buku agama.
Katanya, evaluasi konten agama tersebut untuk memastikan pengajaran agama yang dilakukan di sekolah-sekolah tidak mengandung pemahaman yang bermuatan radikal dan intoleran.
Wamenag menambahkan, evaluasi konten buku ini bukanlah hal yang baru dilakukan Kemenag.
Revisi atau pun evaluasi konten buku disebut hal yang rutin dilaksanakan Kemenag lewat Direktorat Jenderal Pendidikan Islam (Ditjen Pendis).
Baca: Satgas Penanganan Radikalisme ASN Segera Dibentuk, ini 11 Pelanggaran Diatur SKB
Menurut Wamenag, hal itu merupakan salah satu upaya peningkatan mutu pendidikan Islam, yang meliputi madrasah, pendidikan Diniyah, pondok pesantren, maupun Perguruan Tinggi Keagamaan Islam.
“Itu sudah lama kan itu memang bagian dari kerja Ditjen Pendis,” ujarnya kutip website resmi Kemenag di Jakarta, Rabu (20/11/2019).
Menurut Wamenag, evaluasi konten buku pendidikan agama juga menjadi bagian program penyiapan SDM unggul.
“Ini sudah menjadi bagian dari program untuk menyongsong generasi Indonesia unggul. Sehingga ini menjadi bagian dari tugas untuk menyiapkan SDM yang berkualitas,” sebutnya.
Wamenag mengemukakan hal itu menanggapi pertanyaan media, Selasa (19/11/2019) terkait perombakan konten buku Pelajaran Agama Islam.
Baca: Din Minta Elite Politik Tidak Alergi dan Sinis pada Agama
Menurut Zainut yang juga Wakil Ketua Umum MUI, moderasi beragama akan menjadi bagian dari isi buku-buku pengajaran agama. Ini dinilai sejalan dengan pengarusutamaan moderasi beragama yang bukan saja menjadi tugas Kemenag, melainkan juga semua kementerian/lembaga.
Sebaliknya, disebutkan, konten yang mengandung indikasi pemahaman radikal menjadi perhatian tim evaluasi. Antara lain yang mengajarkan paham intoleran. “Yaitu, paham yang hanya mengakui bahwa paham mereka yang benar sementara yang lain salah,” sebutnya.
Ia menambahkan pendapatnya bahwa paham intoleran juga mengandung muatan menafikan atau tidak menerima nilai-nilai kesepakatan yang sudah diketahui bersama sebagai pedoman berbangsa dan bernegara.
“Seperti Pancasila, NKRI, dan kebinekatunggalikaan. Itu jadi bagian kategori yang disebut sebagai radikal. Dan juga konten yang menistakan nilai-nilai kemanusiaan,” sebutnya.*