Hidayatullah.com—Peristiwa hukuman pancung terhadap Tenaga Kerja Wanita (TKW) Indonesia Ruyati binti Sapubi, pada 18 Juni 2011 di Arab Saudi terus mendapat respon dari berbagai kalangan. Sebagian menolak dengan alasan dianggap sudah tidak relevan lagi dengan sistem hukum modern.
Dalam surat elektroniknya yang diterima hidayatullah.com Pimpinan Pusat Persatuan Islam (PP Persis) menyikapi persoalan TKW di luar negeri. Di bawah ini adalah enam catatan yang diusulkan Persis untuk pemerintah RI.
Pertama, menuntut Pemerintah Indonesia menghentikan pengiriman TKW pembantu rumah tangga (PRT), khususnya ke Arab Saudi serta negara-negara yang tidak memberikan jaminan perlindungan bagi para tenaga kerja informal.
Kedua, perwakilan Kedubes Indonesia di negara tujuan para TKW-PRT harus benar-benar memantau proses hukum atas tindakan tak manusiawi para majikan pelaku penganiayaan
Ketiga, pemerintah diminta secara serius menangani perusahaan jasa tenaga kerja Indonesia (PJTKI) yang bertindak sebagai agen pengirim. PJTKI harus dipastikan tidak mengirimkan tenaga kerja tidak trampil karena berpotensi dianiaya majikan.
Keempat, memberikan sanksi yang berat atau pencabutan ijin usaha terhadap agen PJTKI apabila mengirim TKW tidak trampil dan pejabat pemerintahan yang berkolusi dengan agen PJTKI tersebut.
Kelima, pemerintah harus menegosiasikan dan menyepakati perjanjian bilateral dengan negara penerima TKW-PRT. Secara multirateral ada perjanjian internasional yang memberi perlindungan kepada buruh migran, yaitu International Convention on the Protection of the Rights of All Migrant Workers and Members of Their Families (Konvensi Buruh Migran).
Keenam, ketiadaan kesepakatan antara pemerintah Indonesia dengan Arab Saudi untuk menyepakati MoU tentang perlindungan PRT migran Indonesia menjadi cermin buruk bagi kedua negara.
“Ini membuka ruang lebar untuk berbagai kekerasan dan pelanggaran terhadap PRT migran, tidak ada jaminan perlindungan bagi pekerja sektor domestik ini karena undang-undang Arab Saudi tidak mencantumkan pekerja rumah tangga ini ke dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan Arab Saudi.”
“Akibatnya, kasus seperti ini hanya dianggap sebagai urusan privat. jika pemerintah Indonesia tidak segera menyusun perundangan khusus menyangkut tenaga kerja sektor domestik, maka kasus-kasus serupa akan terus berulang.” *