Hidayatullah.com–Sultan Kasepuhan Cirebon, Sultan Sepuh Arief Natadiningrat, menyatakan ketidaknyamanannya dengan adanya kasus bom bunuh diri di Solo yang dikait-kaitkan dengan bom Cirebon. Menurut Sultan, kasus itu membawa dampak jelek terhadap citra Cirebon.
Kaitan Cirebon dengan pemboman di Solo itu pertama kali disampaikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, saat melakukan jumpa pers di Jakarta, tidak berselang lama setelah kejadian.
Sultan Arief Natadiningrat mengaku sampai tidak bisa tidur dengan pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang mengatakan kemungkinan pelaku pemboman di Solo masih terkait jaringan di Cirebon.
Pengamat kriminal dari Indonesian Crime Analyst Forum (ICAF), Mustofa B Nahrawardaya, menyesalkan pernyataan Presiden tersebut dan menilai ketidaknyamanan Sultan itu wajar.
Pasalnya, menurut Mustofa, pernyataan SBY yang langsung mengaitkan bom Solo dengan bom Cirebon berdasarkan hasil investigasi sementara, itu jelas telah menyakiti masyarakat Cirebon.
“Dengan pernyataannya yang demikian itu, SBY menjustifikasi seolah-olah Kota Cirebon adalah kota teroris. Pernyataan SBY menyebabkan dua kerusakan sekaligus, yaitu merusak simbol agama dan simbol kerajaan Cirebon,” kata Mustofa dalam perbincangan dengan Hidayatullah.com, Rabu (28/9).
Selain itu, Mustofa mempertanyakan sikap SBY yang memerintahkan investigasi di internal aparat keamananan terkait aksi teror bom bunuh diri di Solo beberapa waktu lalu itu.
“Sampai di sini ada yang aneh, seperti ada yang bermain di luar komando. Kalau kasus ini untuk pengalihan itu otomatis,” ujar Mustofa.
Mustofa menilai, SBY tampaknya ingin memastikan bahwa para aparat keamanan dengan intelijen telah bekerja dan telah menjalankan tugas-tugas mereka sebagaimana yang diharapkan.
Apakah aksi teror bom di Solo tersebut berkorelasi dengan pembahasan RUU Intelijen yang saat ini masih dibahas di DPR? “Pasti terkait. Korelasinya sangat signifikan,” jawab Mustofa.
Memang, baru-baru ini Ketua Komisi I DPR Mahfudz Siddiq menyatakan ada kenaikan anggaran untuk Badan Intelijen Negara sekitar Rp200 miliar, dari sebelumnya Rp 1,2 triliun menjadi Rp 1,4 triliun.*