Hidayatullah.com–Berbagai aksi kekerasan yang belakangan terjadi mendorong aparat keamanan mengintensifkan razia terhadap berbagai aktor yang diduga merupakan aktor kekerasan.
Premanisme segera menjadi musuh bersama baru setelah serangkaian peristiwa pembunuhan, penyerangan RSPAD Gatot Subroto, perampokan, dan lain-lain. Namun demikian, memerangi premanisme jangan kemudian membuka ruang baru bagi TNI untuk melibatkan diri secara tidak sah dalam menjaga keamanan dan penegakan hukum, demikian siaran pers Setara Insititute yang dikirim ke redaksi hidayatullah.com.
Menurut Setara, pelibatan TNI secara tidak sah dalam serangkaian penangkapan orang-orang yang diduga sebagai pelaku penyerangan RSPAD, 23 Februari 2012 lalu, tidak boleh dibiarkan dan menjadi justifikasi pelibatan TNI dalam penanganan keamanan dan penegakan hukum, karena tugas menjaga keamanan dan penegakan hukum adalah tugas Polri.
“Adalah kekeliruan mendasar ketika Polri, merasa tidak mampu lalu menyerahkan tugasnya kepada TNI secara tidak sah.”
Menurut Setara lagi, pelibatan TNI harus atas dasar kebutuhan yang nyata dan menjadi wewenang Presiden RI. Namun demikian, karena tidak adanya batas yang tegas soal pelibatan TNI, sebagaimana diatur dalam UU Tentara Nasional Indonesia, maka kecurigaan TNI akan merangsek dalam berbagai kehidupan sosial politik terus mengemuka.
Sebagaimana diketahui, Kepala Pusat Penerangan TNI Laksamana Muda TNI Iskandar Sitompul (27/2) menyatakan bahwa TNI telah melakukan pemeriksaan 1 X 24 jam, atas tujuh orang yang terindikasi terlibat bentrokan di RSPAD. Meskipun ketujuh pelaku langsung diserahkan ke Polda Metro Jaya, 26/2 lalu, keterlibatan TNI jelas tidak dibenarkan. Apalagi hanya didasarkan bahwa lokus peristiwanya terjadi di lingkungan rumah sakit milik TNI AD, yang menurut TNI adalah semi militer. Padahal rumah sakit adalah fasilitas umum bukan markas tentara. Tidak benar juga kalau keterlibatan TNI atas dasar permintaan kepolisian karena alasan kewalahan tanpa perintah formal Presiden RI secara sah, karena kewenangan perbantuan TNI ada di tangan Presiden.
Cara kerja sebagaimana dalam kasus RSPAD Gatot Subroto ini menandakan lemahnya kapasitas Polri. Jangan sampai tata kerja semacam ini terus dibiarkan karena hanya akan mengembalikan supremasi militer atas Polri dan aparat penegak hukum; juga melemahkan institusi Polri sendiri. Jika Polri tidak mampu meningkatkan kapasitas dan kinerjanya, tidak heran jika hasrat kuasa TNI untuk mengukuhkan supremasinya melalui RUU Kamnas mendapat pembenaran. Polri harus menunjukkan bahwa institusinya mampu menangani premanisme dan melakukan penegakan hukum.
Demikian juga, agar mekanisme perbantuan militer dalam operasi selain perang tidak menimbulkan kontroversi dan pelanggaran hukum, Pemerintah dan DPR RI perlu segera menyusun UU Perbantuan Militer. Dengan demikian, pelibatan TNI dalam operasi selain perang memiliki justifikasi legal dan dapat dipertanggungjawabkan. *