Hidayatullah.com–Pakar pendidikan Universitas Diponegoro Semarang, Prof Eko Budihardjo, menilai “pelabelan” sekolah favorit sebaiknya dihilangkan karena tidak sejalan upaya pemerataan kualitas pendidikan.
“Adanya sekolah-sekolah yang dikatakan favorit ini dampaknya kurang baik. Ini akan mendorong siswa-siswa dengan prestasi tergolong di atas berbondong-bondong mendaftar ke sekolah favorit,” katanya dikutip Antara, Kamis kemarin.
Di sisi lain, kata dia, sekolah-sekolah yang tidak difavoritkan akan terpinggirkan karena mereka yang mendaftar kebanyakan berprestasi kurang baik atau siswa yang tidak mampu bersaing di sekolah favorit.
Kalau kondisi seperti itu terus berlangsung, kata mantan Rektor Undip itu, kualitas pendidikan antarsekolah akan semakin timpang. Sekolah favorit akan semakin meningkat kualitasnya, sementara sekolah non-favorit anjlok.
“Sekolah favorit terus berprestasi karena memiliki `input` siswa yang merupakan bibit-bibit unggul. Sementara, bagaimana dengan nasib sekolah-sekolah non-favorit yang tidak kebagian `input` siswa unggul?,” katanya.
Eko yang dikenal juga sebagai budayawan itu mengatakan, perhatian pemerintah daerah yang tidak adil seringkali justru membuat kondisi ketidakmerataan kualitas pendidikan antarsekolah di suatu wilayah semakin parah.
Sekolah-sekolah yang diunggulkan, kata dia, mendapatkan bantuan pendanaan dalam jumlah besar, sementara sekolah di pinggiran sering terlupakan sehingga membuat sekolah nonfavorit semakin sulit bersaing.
Karena itu, ia mengharapkan pemerintah daerah juga turut mendukung penghilangan “label” sekolah favorit, tidak ada lagi sekolah yang diunggulkan sehingga terjadi pemerataan siswa-siswa unggul di setiap sekolah.
Ia mencontohkan sistem pendidikan di Jepang yang mengharuskan siswa mulai jenjang sekolah dasar (SD) hingga sekolah menengah atas (SMA) menempuh studi di sekolah yang terletak tidak jauh dari tempat tinggalnya.
“Mulai SD-SMP, siswa diharuskan berjalan kaki karena jaraknya dekat. Setelah SMA, bolehlah bersepeda karena sekolahnya agak jauh, tidak sebanyak SD dan SMP. Hampir tak ada perbedaan kualitas antarsekolah,” katanya.
Dengan sistem pendidikan yang diatur semacam itu, kata dia, tercipta pemerataan kualitas pendidikan antar sekolah. Baru setelah lulus SMA, siswa diperbolehkan memilih perguruan tinggi sesuai keinginan mereka.
“Pemerataan kualitas pendidikan ini harus dipikirkan pemerintah. Dalam lingkup Kota Semarang saja masih terjadi ketimpangan pendidikan antarsekolah. Apalagi, sekolah di daerah pelosok dan perbatasan,” kata Eko Budiharjo.*